Tinggalkan Merkuri, Penambang Daerah Ini Tuai Apresiasi

Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata di Jenewa ke dalam UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.

oleh Nurmayanti diperbarui 04 Okt 2017, 20:28 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2017, 20:28 WIB
Ilustrasi Peduli Lingkungan
Peduli lingkungan ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta Perubahan pola perilaku masyarakat penambang di Kabupaten Poboya, Palu, yang tak lagi memakai merkuri diapresiasi sejumlah pihak. Mereka menilai kesadaran masyarakat telah memberi dampak signifikan bagi perbaikan lingkungan di Poboya dan sekitarnya.

Dosen Agroteknologi Universitas Tadulako, Isrun Muh Nur menyebutkan, bila memang warga bersepakat tak lagi menggunakan merkuri di area penambangan emas, maka dia yakin kondisi lingkungan pasti membaik.

Sebelumnya, ketika masih melakukan penelitian selama dua tahun bersama-sama dengan universitas asal Jepang hingga tahun 2013, dia mengamati mayoritas penambang tradisional di Toboya, masih punya kebiasaan menggunakan bahan merkuri.

Waktu itu, hasil penelitian yang menggunakan empat media, tanah, tanaman, air dan udara, masih diperoleh hasil kalau pencemaran limbah kerap terjadi lewat sekitar belasan ribu mesin tromol atau gelundung, yang setiap digunakan masing-masing memakai hingga 150 mililiter bahan merkuri.

“Jadi kalau tidak ada lagi penggunaan merkuri, maka akan signifikan penurunan pencemarannya. Sebab tadi pencemarannya setiap hari mencapai 150 mililiter dikali 17 ribu sekian tromol dikali penggunaan tiga kali sehari. Jadi penghentian pemakaian merkuri ini dampaknya besar sekali,” jelas dia, seperti dikutip Rabu (4/10/2017).

Sementara buat area yang telah tercemar butuh proses yang tak dapat diprediksi. Tapi kata Isrun, bukan tak mungkin keadaannya dapat terus menurun di masa-masa selanjutnya. Bahan merkuri dapat menguap dalam temperatur panas. Kondisi lingkungan, dengan demikian bisa kembali baik.

 

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Wira Yudha juga menyambut baik kesadaran warga untuk meninggalkan penggunaan merkuri. Apalagi, dia mengingatkan jika ada sanksi terhadap penggunaan merkuri.

Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata di Jenewa ke dalam UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury. Ini telah disahkan pada tanggal 13 September 2017. Ratifikasi ini telah jadi alat dan payung hukum buat aparatur negara untuk melakukan penindakan jika ada penyalahgunaan merkuri.

“Dengan demikian ada satu tools aparat untuk menindak apabila itu terjadi perdagangan merkuri ataupun penggunaan merkuri untuk tujuan-tujuan penambangan. Karena pemakaiannya dibatasi, terutama untuk kepentingan kesehatan. Jumlah beredar pun diatur dan dibatasi,” jelas Satya.

Untuk kepentingan pertambangan saat ini, ia mengungkapkan sianida dapat digunakan sebagai pengganti merkuri. Hal ini dikemukakannya berdasarkan pernyataan pihak BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII beberapa waktu lalu.

Sianidasi emas, yang juga dikenal sebagai proses sianida atau proses MacArthur-Forrest adalah teknik metalurgi untuk mengekstraksi emas dari bijih kadar rendah dengan mengubah emas ke kompleks koordinasi yang larut dalam air. Proses inilah yang paling umum digunakan untuk ekstraksi emas.

Dengan digunakannya sianida sebagai alternatif, diharapkan tak ada lagi pertambangan baik dikelola secara tradisional oleh rakyat, perusahaan besar atau menengah yang menggunakan merkuri.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

vidio:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya