Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, perhitungan nilai saham PT Freeport Indonesia akan dilakukan dengan transparan dan profesional.
Luhut mengatakan, pemerintah akan mengacu pada harga pasar dalam menentukan harga 41,64 persen saham PT Freeport Indonesia. Hal ini untuk membuktikan penetapan harga dilakukan secara transparan dan profesional.
Untuk diketahui, saat ini pemerintah telah memiliki 9,36 saham Freeport Indonesia, agar pihak nasional memiliki saham 51 persen, PT Freeport Indonesia akan melepas saham 41,64 persen.
Advertisement
Baca Juga
"Kita biarkan market yang melakukan valuasi. Apakah kira-kira US$ 8 miliar? Pokoknya kita lakukan secara transparan dan profesional," kata Luhut, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Senin (9/10/2017).
Luhut menegaskan, pemerintah tidak ingin melakukan hal yang tidak benar dalam menetapkan harga saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut. Oleh karena itu, pemerintah memilih mengacu pada harga pasar dalam menentukan harganya.
"Kita enggak mau melakukan yang tidak benar. Kita suruh market stock exchange untuk mem-value," ujar dia.
Luhut mengungkapkan, Freeport McMoran Inc telah bersedia melepas sahamnya menjadi 51 persen ke pihak nasional. Saat ini yang sedang ditunggu adalah waktu dimulainya pelepasan saham tersebut. Dia menyatakan, pelepasan saham tidak dalam waktu cepat karena akan merepotkan. Berdasarkan perkiraannya dilakukan dalam lima tahun.
"Freeport enggak ada masalah saya pikir, paling nanti kalau mereka namanya 51 persen sudah pasti. Tinggal kapan 51 persen terjadi? Ndak mungkin dalam waktu terlalu cepat, kita juga repot mungkin 5 tahun nanti kita lihat," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Menteri Jonan Ungkap Hasil Perundingan RI dan Freeport ke DPR
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, menjelaskan tiga poin penting hasil kesepakatan renegosiasi kontrak antara pemerintah dengan Freeport kepada anggota Komisi VII DPR, yakni divestasi, smelter, dan penerimaan negara. Jonan juga mengklarifikasi bocornya surat penolakan Freeport terhadap kewajiban divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia.
"Kita sudah mencapai kesepakatan besar pada Agustus lalu. Pemerintah menyetujui perpanjangan (kontrak) maksimum 2x10 sesuai Undang-Undang (UU) Minerba," tegas Jonan saat Rapat Kerja dengan Komisi VII di Gedung DPR, Jakarta, Senin 9 Oktober 2017.
Dia menjelaskan, perpanjangan kontrak pertama Freeport Indonesia mengeruk emas di Indonesia periode 2021-2031. Jika memenuhi persyaratan, maka dapat diperpanjang lagi hingga 2041. "Saya bilang dapat ya (diperpanjang), tapi belum tentu," ucap mantan Menteri Perhubungan itu.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi Freeport Indonesia. Pertama, kata Jonan, Freeport Indonesia harus melepas (divestasi) 51 persen saham untuk kepemilikan Indonesia, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda). Pemda diwakili pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan masyarakat adat.
Syarat kedua, sambungnya, Freeport Indonesia wajib membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam kurun waktu 5 tahun setelah persetujuan diberikan. Ini adalah amanat UU Minerba yang tidak dapat diganggu gugat.
Terakhir, pemerintah mengupayakan hasil operasi atau penerimaan negara dari Freeport Indonesia yang akan lebih tinggi, baik PNBP, royalti, pajak dalam bentuk apa pun, dan retribusi daerah.
"Sampai dengan pertemuan hari ini, kesepakatan itu tidak berubah," Jonan menegaskan.
Ihwal surat penolakan divestasi oleh CEO Freeport McMoran, Richard Adkerson, kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenkeu, Hadiyanto, lebih jauh Jonan mengklarifikasinya.
"Surat Freeport yang dikatakan menolak, sebenarnya tidak ada. Surat itu ditujukan ke Sekjen Kemenkeu, karena Presiden menugaskan detail divestasi dibicarakan dengan Menkeu dan Menteri BUMN. Kami di ESDM hanya mendukung saja karena divestasi mengenai kemampuan keuangan negara dan berapa nilai valuasi dari 51 persen saham," ucap Jonan.
Untuk pembangunan smelter, Jonan mengaku, tidak ada negosiasi kepada Freeport Indonesia, mengingat itu adalah kewajiban yang diamanatkan UU. Untuk penerimaan negara yang dihasilkan dari operasional Freeport Indonesia, Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang membuat rancangannya.
"Prinsipnya harus lebih baik, ini perlu dilampirkan nantinya tarif pajak. Jadi ini menjamin perjanjian kedua belah pihak tidak berubah," tegas Jonan.
Â
Advertisement