Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah memberikan insentif bagi pengusaha ritel di dalam negeri. Hal tersebut guna meringankan beban pengusaha di tengah lesunya bisnis ritel pada tahun ini.
Ketua Aprindo Roy N Mande mengatakan, di tengah lesunya bisnis ritel di dalam negeri, pemerintah harus segera mengambil langkah untuk mengembalikan pertumbuhan bisnis ini. Salah salah satunya dengan pemberian insentif.
"Kalau kita lihat pertumbuhan konsumsi belum meningkat, berarti apa yang bisa diberikan kepada perusahaan ritel? Yaitu mungkin insentif. Karena dengan situasi sekarang ini, kita masih dengan cost yang tinggi, harga energi yang tinggi, listrik yang tinggi, biaya tenaga kerja yang tinggi, belum lagi harus menanggung penyusutan, itu kan beban. Sekiranya ada insentif, mungkin bisa balance terhadap situasi konsumsi yang belum recovery," ujar dia pada acara Rembuk Nasional 2017 di JIExpo Kamayoran, Jakarta, Senin (23/10/2017).
Advertisement
Menurut dia, insentif yang paling mudah dan akan langsung terasa dampaknya bagi pengusaha yaitu penurunan tarif listrik. Saat ini kontribusi biaya listrik terhadap total biaya operasional di usaha ritel mencapai 40 persen.
"Yang paling cespleng itu insentif listrik. Yang paling penting misalnya masalah beban listrik, satu sisi memang kita kekurangan listrik, tetapi kekurangan listrikan itu bicara hal yang berbeda karena tugas pemerintah untuk menyediakan listrik bagi rakyatnya. Tapi bagi pelaku usaha ini jadi problem, karena posisinya dalam perhitungan industri ritel itu bisa 40 persen adalah cost untuk energi," kata dia.
Jika beban biaya energi yan harus ditanggung pengusaha bisa lebih ringan, lanjut Roy, maka diharapkan bisa mengompensasi turunnya pendapatan akibat lesunya penjualan. Dengan demikan, industri di bisnis ini diharapkan bisa terus bertahan melewati turunnya penjualan.
"Di kala cost untuk energi bisa mendapatkan insentif, itu setidaknya membantu dalam pola konsumsi yang saat ini berubah dan juga belum kembalinya purchasing power untuk kalangan menengah ke bawah. Kan yang terganggu sekarang kalangan menengah ke bawah, kalangan menengah atas tidak ada masalah dalam hal daya beli. Mereka masih bisa leisure, bisa lifestyle karena memang uang tidak jadi masalah bagi mereka. Itu yang perlu dijadikan alarm bagi pemerintah," tandas dia.