Indikator Pembayaran Pajak RI Turun, Ini Penjelasan Ditjen Pajak

Bank Dunia mencatat indikator pembayaran pajak di Indonesia dalam laporan kemudahan berusaha turun 10 peringkat.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Nov 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2017, 09:30 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia melaporkan kenaikan 19 peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia ‎ke posisi 72 dari sebelumnya 91. Namun, salah satu indikator di dalam EoDB yang masih jeblok adalah pembayaran pajak (paying tax) yang turun 10 peringkat dari posisi 104 ke 114.

Dari hasil survei Bank Dunia, ada empat indikator yang akhirnya menyebabkan peringkat pembayaran pajak ‎di Indonesia melorot dari 2017 ke 2018.

Empat indikator itu, yakni Number of Payment stagnan dengan nilai sebesar 43 per tahun, Time to Comply dari 221 jam per tahun menjadi 207,5 jam per tahun, Total Tax and Contribution Rate dari 30,6 persen menjadi 30 persen, serta Post-Filing Index (VAT Refund, Corporate Income Tax Audit, Administrative Appeal Process) menjadi 68,82 dari sebelumnya 76,49.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama menjelaskan, empat indikator dalam pembayaran pajak, yaitu Number of Payment nilainya konstan, Time to Comply positif, Total Tax and Contribution Rate positif serta Post-Filing Index yang masih negatif.

"Ada dua indikator yang positif dan satu indikator yang negatif, jadi peringkat pembayaran pajak di Indonesia turun, itu karena ada negara lain yang lebih cepat progresnya dibanding Indonesia," ‎tutur Hestu Yoga saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Dia menuturkan, untuk indikator Number of Payment yang konstan terkait dengan e-filing untuk Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan SPT Masa PPh Pasal 21 yang baru kami sediakan secara online pada 2016.

"Jadi perlu lebih intensif disosialisasikan atau mungkin nanti akan kami wajibkan (mandatory)," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Selanjutnya

Sementara itu, indikator pembayaran pajak lainnya yang masih merah ‎adalah Post-Filing Index. Dia mengungkapkan, ini menyangkut persoalan yang cukup signifikan dan akan diselesaikan dalam reformasi pajak.

"Kami memiliki keterbatasan sumber daya manusia yang belum memungkinkan proses restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pemeriksaan PPh Wajib Pajak Badan yang lebih cepat," tutur dia. Lebih jauh, kata Hestu Yoga, restitusi atau kelebihan bayar pajak, baik PPh maupun PPN, diselesaikan paling lama 12 bulan sesuai Pasal 17B Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun demikian, dapat diberikan pengembalian pendahuluan untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.

Yaitu Wajib Pajak Patuh pada Pasal 17C UU KUP dan persyaratan tertentu di Pasal 17D UU KUP tanpa melalui pemeriksaan untuk jangka waktu hanya tiga bulan untuk restitusi PPh dan satu bulan untuk restitusi PPN.

"Kami akan menyempurnakan regulasi, proses bisnis dan sistem untuk mempercepat proses restitusi PPN untuk lebih cepat dalam restitusi PPN dan pemeriksaan PPh Wajib Pajak Badan, dan pengembangan Compliance Risk Management Keberatan dan Banding, serta perbaikan administrasinya," jelas Hestu Yoga.

‎Dia menegaskan, Ditjen Pajak berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan dalam kerangka reformasi perpajakan guna mendukung peningkatan peringkat kemudahan berusaha ke depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya