Liputan6.com, Jakarta Pemerintah meminta masyarakat dan rumah sakit tidak khawatir atas adanya indikasi defisit pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Tahun ini, perkiraan potensi defisit mencapai Rp 9 triliun.
"Tidak perlu ada kehawatiran pelayanan dan tagihan berkaitan hal yang dilakukan BPJS tidak bisa tertanggulangi pemerintah‎," kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, di Kementerian Koordinator Bidang PMK, Jakarta, Senin (6/11/2017).
Baca Juga
Puan menegaskan, potensi defisit pada BPJS kesehatan tidak akan mengganggu pelayanan pada masyarakat. Lembaga tersebut akan tetap memberikan pelayanan secara normal.
Advertisement
"Meski demikian walaupun ada indikasi defisit BPJS kesehatan, ‎pelayanan pada masyarakat bisa dipastikan terus dilaksanakan," paparnya.
Menurut Puan, pemerintah pun akan menangani defisit pada BPJS kesehatan‎, agar tidak terulang pada tahun berikutnya. "Namun tentu saja berkaitan hal itu. Harus dilakukan hal-hal untuk mengantisipasi jangan sampai setiap tahun BPJS kesehatan ini mengalami defisit," tuturnya.
‎Diretur Utama BPJS Fachmi Idris mengungkapkan, untuk mengatasi defisit yang diakibatkan oleh kekurangan iuran dalam membayar tagihan dari rumah sakit, BPJS akan memanfaatkan suntikan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Masalah untuk bayar rumah sakit apa yang dikeluarkan angka sudah ditutup suntikan dana tambahan sampai Desember cukup. Rumah sakti jangan khawatir pasti kita bayar ada di anggaran APBN ada," tutur Fachmi.
Defisit Rp 9 Triliun
Sebelumnya diberitakan, BPJS Kesehatan berpotensi mengalami defisit pendanaan untuk pembayaran klaim peserta sebesar Rp 9 triliun pada tahun ini. Hal tersebut salah satunya disebabkan kekurangan bayar iuran para pesertanya.
Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan B‎ayu Wahyudi menjelaskan, dari perhitungan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), terdapat selisih pembayaran iuran sebesar Rp 13 ribu per peserta. Sementara, jumlah peserta pada kategori tersebut mencapai 92,4 juta jiwa.
"Dari hasil perhitungan, PBI itu bayar Rp 23 ribu, harusnya dibayar Rp 36 ribu. Itu sudah selisih Rp 13 ribu. Bayangkan Rp 13 ribu dikali‎ 92,4 juta jiwa," ujar dia.
Selain itu, defisit tersebut juga disumbang oleh kekurangan bayar iuran peserta bukan penerima upah (PBPU). Selisih pembayaran iuran di kategori ini bahkan diperkirakan lebih besar lagi.
"Itu‎ dari selisih PBI, saja belum dari PBPU. Kelas I itu Rp 81 ribu per bulan, tetapi kelas II ini hanya Rp 51 ribu seharusnya (bayar) Rp 68 ribu, berarti selisih Rp 17 ribu. Kemudian kelas III yang seharusnya itu Rp 53 ribu hanya dibayar Rp 25.500," kata dia.
Bayu menuturkan, perhitungan mismatch ini bukan hanya berasal dari BPJS Kesehatan ini, tetapi juga dari kementerian dan lembaga lain seperti Kementerian Keuangan.
"‎Bayangkan ini sudah diperhitungkan dari perhitungan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) kemudian, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BPJS," tandasnya.
Advertisement