Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha memastikan, pihaknya akan segera memanggil manajemen PT Pertamina (Persero). Pemanggilan ini terkait dengan potensi kehilangan pendapatan yang dialami oleh perusahaan pelat merah tersebut sebesar Rp 19 triliun.
Satya menjelaskan, dalam pemanggilan tersebut, Komisi VII akan meminta Pertamina melakukan efisiensi sekaligus audit investigasi terkait potensi kehilangan pendapatan tersebut.
Advertisement
Baca Juga
"Itu pasti, dari situ kita bisa meminta Pertamina untuk melakukan efisiensi, misalnya seperti biaya distribusi dan transportasi BBM, biaya storage dan juga biaya refinery," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (28/11/2017).
Satya menuturkan, bagian yang perlu dilakukan audit investigasi adalah seperti distribusi dan transportasi BBM.‎ Selain itu, dirinya juga menyarankan agar Pertamina melakukan keterbukaan dalam penghitungan struktur harga BBM dan elpiji 3 kg.
Hal itu, lanjut dia, diperlukan untuk mengetahui dengan pasti komponen mana yang membuat harga BBM dan elpiji 3 kg tidak menjadi kompetitif. "Maka tugas direksi untuk segera menggenjot efisensi dalam pengadaan BBM dan epiji 3 kg," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Selanjutnya
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta PT Pertamina (Persero) untuk melakukan efisiensi terhadap model bisnisnya, terutama dalam hal distribusi bahan bakar minyak (BBM).
Jonan mencontohkan, dalam menjual BBM jenis Premium yang merupakan penugasan dari pemerintah, Pertamina mulai mengeluh karena tidak mendapatkan untung. Hal ini salah satunya disebabkan oleh harga minyak mentah yang mulai mengalami kenaikan.
"Pertamina jual Rp 6.450 (Premium) ini sudah mulai teriak karena harga minyak mentahnya naik terus," tutur dia.
Padahal, ada perusahaan baru yaitu Vivo yang juga menjual BBM RON-nya tidak jauh berbeda dengan dari Premium, bahkan dengan harga yang lebih murah, tetapi mengaku masih mendapatkan keuntungan.
"Kalau kita lihat penjualan BBM yang RON 88 itu hargnya ditetapkan pemerintah Rp 6.450. Ada perusahaan swasta buka SPBU, baru satu, tapi nanti dia akan buka di Serang, Ambon, terus ke timur dan sebagainya. Itu jualnya harganya RON 89 itu Rp 6.100. Lah ini yang baru masuk Rp 6.100 enggak apa-apa. Saya tanya masih untung enggak? Masih," kata dia.
Menurut Jonan, hal ini membuktikan jika selama ini Pertamina belum efisien dalam menjalankan bisnisnya. Padahal, jika bisa lebih efisien, dirinya yakin Pertamina akan mendapatkan untung yang lebih besar.‎‎ "Ini harus lebih efisien lagi, bisnis modelnya Pertamina dalam distribusi bensin. Ada yang bilang itu kan cuma 1-2 SPBU (Vivo). Lah 1-2 ini justru cost-nya lebih besar, daripada 5.000-6.000 SPBU," ungkap dia.
Advertisement