Liputan6.com, Batam - Pemerintah berupaya mendorong pertumbuhan ekspor pada 2018. Peningkatan ekspor ini diharapkan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi selain konsumsi dalam negeri dan investasi.
Pengamat Ekonomi Rofikoh Rokhim mengatakan, di tengah upaya pemerintah mendorong ekspor, ada sejumlah tantangan yang harus segera diselesaikan agar ini bisa berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Advertisement
Tantangan pertama adalah tingginya biaya logistik di Indonesia. Saat ini, biaya logistik nasional masih besar 17 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Negara tetangga, seperti Malaysia hanya sekitar 8 persen, Singapura 6 persen, dan Filipina sebesar 7 persen.
Advertisement
Baca Juga
"Bahkan Filipina yang macetnya minta ampun, biaya logistiknya lebih murah dari kita. Ini sama-sama negara kepulauan," ujar dia dalam Media Coaching Indonesia Eximbank di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/12/2017).
Tantangan kedua, struktur dan prosedur birokrasi yang masing sering menimbulkan biaya tambahan. Dia menuturkan, saat ini pengurusan dokumen ekspor impor barang dari negara asal hingga negara tujuan masih menjadi tantangan bagi para pelaku usaha.
"Pelaku usaha mengalami kendala baik waktu, biaya hingga proses administrasi dalam mengurus berbagai dokumen ekspor impor barang menuju suatu negara," kata dia.
Tantangan ketiga, yaitu masih rendahnya produktivitas dan kualitas tenaga kerja Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga. Hal ini membuat investor yang berorientasi ekspor memilih negara lain sebagai tempat untuk membangun pabriknya.
"Di Indonesia masih banyak demo-demo. Kemudian di negara lain seperti Vietnam juga upah tenaga kerjanya lebih murah," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Â
Kinerja Ekspor Impor Turun pada September
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, ekspor dan impor Indonesia pada September 2017 turun dibanding bulan sebelumnya. Namun, penurunan tersebut dianggap wajar dan bersifat musiman.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, nilai ekspor Indonesia pada September 2017 mencapai US$ 14,54 miliar atau turun 4,51 persen dibandingkan ekspor Agustus 2017. Sementara untuk ekspor nonmigas September 2017 mencapai US$ 13,1 miliar, turun 6,09 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
"Penurunan terbesar ekspor nonmigas September 2017 terhadap Agustus 2017 terjadi pada lemak dan minyak hewani atau nabati sebesar US$ 186,4 juta atau 9,06 persen. Sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada bahan bakar mineral sebesar US$ 182,8 juta atau 10,66 persen," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Senin 16 Oktober 2017.
Dia menjelaskan, penurunan ekspor nonmigas September 2017, jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya terjadi hampir di semua negara tujuan utama. Contohnya, ke Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 155,1 juta (9,63 persen), Korea Selatan US$ 83,9 juta (13,92 persen), China US$ 55,2 juta (2,83 persen), Australia US$ 44,3 juta (21,26 persen), dan Thailand US$ 36,1 juta (7,37 persen).
Kemudian, India US$ 34 juta (2,88 persen), Malaysia US$ 26,8 juta (4,27 persen), Singapura US$ 26,4 juta (2,99 persen), Jerman US$ 21,4 juta (8,69 persen), Italia US$ 19,1 juta (11,41 persen), Beland US$ 5,3 juta (1,6 persen) dan Taiwan US$ 4,2 juta (1,69 persen). Sementara, ekspor ke Jepang naik US$ 44,1 juta (3,49 persen).
"Secara keseluruhan, total ekspor ketiga belas negara tujuan utama turun 4,77 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa pada September 2017 mencapai US$ 1,31 miliar," jelas dia.
Selain ekspor, impor Indonesia pada September 2017 juga turun dibandingkan dengan Agustus di tahun yang sama. Nilai impor Indonesia pada September 2017 mencapai US$ 12,78 miliar atau turun 5,39 persen dibandingkan Agustus 2017.
Untuk nonmigas September 2017 mencapai US$ 10,85 miliar atau turun 5,67 persen dibandingkan Agustus 2017. Sedangkan untuk impor migas September 2017 mencapai US$ 1,93 miliar atau turun 3,79 persen dibandingkan Agustus 2017.
Namun demikian, pria yang akrab disapa Kecuk ini mengungkapkan, penurunan ekspor dan impor tersebut sebagai suatu hal yang wajar. Pada tahun lalu, hal yang sama juga terjadi pada periode Agustus-September.
"Pada tahun lalu juga sama terjadi penurunan, karena faktor musiman," ia menjelaskan.
Advertisement