Liputan6.com, Jakarta - Pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo meminta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati merevisi target penerimaan pajak tahun ini yang dipatok Rp 1.424 triliun. Hal ini menyusul realisasi setoran pajak 2017 yang hanya tercapai Rp 1.147 triliun atau 89,4 persen dari target Rp 1.283,6 triliun.
"Revisi target pajak 2018 menjadi opsi yang dapat diambil agar APBN 2018 tetap kredibel dan realistis," kata dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (4/1/2018).
Baca Juga
Kritikan ini bukan tanpa alasan. Menurut Prastowo, meski tren pertumbuhan penerimaan pajak bergerak positif, namun belum cukup kuat menopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Advertisement
Datanya menunjukkan, pertumbuhan realisasi penerimaan pajak berturut-turut adalah 6,92 persen (2014), 8 persen (2015), 4,26 persen (2016), dan 3,75 persen. Akan tetapi jika melihat target penerimaan pajak 2018 sebesar Rp 1.424 triliun dibanding realisasi 2017 sebesar Rp 1.147 triliun, maka ada pertumbuhan sekitar 24 persen.
Prastowo lebih jauh mengatakan, kenaikan yang terlalu tinggi dan keterbatasan kapasitas rawan menggelincirkan pemerintah pada pilihan jangka pendek.
"Pada gilirannya dapat menciptakan praktik pemungutan yang tidak adil, misalnya pembayaran pajak di muka atau kontribusi di akhir tahun yang memberatkan wajib pajak, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," ujar dia.
Oleh karena itu, dia menyarankan, agar dilakukan percepatan reformasi pajak agar kapasitas institusi pemungut pajak meningkat, administrasi lebih baik, dan kepastian hukum meningkat.
Prastowo menambahkan, moderasi pemungutan pajak di 2018 menjadi pilihan bijak di tengah kondisi ekonomi yang sedang bergerak menuju pemulihan dan situasi sosial-politik yang menghangat. Meski penegakan hukum yang tegas tetap dapat dilakukan, namun sebaiknya didasarkan pada analisis risiko yang baik.
"Penerapan Compliance Risk Management (CRM) yang mampu memilah wajib pajak berdasarkan risiko akan sangat membantu upaya peningkatan kepatuhan sukarela. Perbaikan kualitas belanja APBN yang semakin baik juga akan mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan pajak," jelas dia.
Dirinya menilai, meski tantangan cukup berat di tahun ini, namun pemerintah memiliki peluang untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui implementasi AEoI (Automatic Exchange of Information) yang akan memberi asupan informasi keuangan yang lebih akurat dan kaya.
"Jadi perlu persiapan sungguh-sungguh baik dari segi akuntabilitas, teknis, sumber daya manusia, dan regulasi – untuk memastikan pemanfaatan data berjalan optimal dengan risiko minimal," kata Prastowo.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Target Pajak Tak Tercapai, Tukin Pegawai Pajak Bakal Terpangkas?
Sebelumnya, penerimaan pajak sementara di 2017 hanya tercapai Rp 1.097,2 triliun atau 88,4 persen dari target yang dipatok Rp 1.283,6 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017.
Apakah pencapaian tersebut akan mengakibatkan tunjangan kinerja (tukin) pegawai pajak dipangkas? Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2015, tukin pegawai pajak di tahun-tahun berikutnya diberikan dengan mempertimbangkan realisasi penerimaan pajak pada tahun sebelumnya.
Itu artinya, dengan realisasi penerimaan pajak sementara di 2017 yang sebesar 88,4 persen, maka tukin yang berhak diterima pegawai pajak sebesar 80 persen. Begitulah bunyi salah satu poin di Perpres 37/2015, yaitu realisasi penerimaan [pajak ]( 3212265 "")80 persen sampai kurang dari 90 persen dari target penerimaan pajak, mendapat tunjangan kinerja 80 persen.
Akan tetapi, diungkapkan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, pemotongan tukin pegawai pajak untuk tahun depan belum diputuskan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati.
"Untuk hal tersebut (tukin), menunggu perhitungan final yang resmi (penerimaan pajak) dan belum ada keputusan Menkeu," tutur Nufransa dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu 3 Januari 2018.
Sri Mulyani sebelumnya berjanji akan merevisi Perpres tukin Nomor 37 Tahun 2015 sehingga mencerminkan asas keadilan. Bukan hanya berbasis realisasi penerimaan pajak, namun berdasarkan beban kinerja dan lokasi atau wilayah kerja.
"Saya sudah mengajukan ke Presiden, dan mendiskusikannya dengan Menteri PAN-RB untuk mendesain insentif yang sesuai asas keadilan. (Itu) karena Menteri PAN-RB bertanya kenapa tidak tercapai target mau diubah, kami harus bertanggung jawab menjawabnya. Karena kami ingin menjaga semangat dan moral dari Ditjen Pajak yang sudah menjalankan tugas," paparnya.
Perubahan perpres tersebut, diakui Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Hadiyanto sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi). Rencananya akan diterapkan pada 2018. "Perpres sudah diteken Jokowi dan akan diterapkan mulai tahun depan," kata Hadiyanto.
Advertisement