Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan inflasi di Indonesia lebih didominasi gejolak bahan pangan (volatile food). Sayangnya, pengendalian harga pangan di Indonesia tidak lebih baik dibandingkan Malaysia.
Direktur Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Yunita Rusanti, mengatakan, inflasi di Indonesia banyak dipengaruhi gejolak harga pangan. Salah satunya beras yang bobotnya terhadap inflasi mencapai 3,8 persen.
Advertisement
Baca Juga
"Kita memang sangat dominan volatile food-nya. Tapi beras merupakan salah satu faktor dari 800 komoditas yang berdampak pada inflasi," kata dia di Jakarta, Selasa (16/9/2018).
Yunita mengaku bahwa pengendalian harga pangan di negara tetangga, seperti Malaysia memang lebih bagus untuk beberapa komoditas termasuk harga beras.
"Malaysia memang untuk beberapa komoditas lebih bagus pengendaliannya. Tapi Indonesia juga sudah bagus dengan adanya Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID)," ia menjelaskan.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyarankan pemerintah mencontoh Malaysia soal pengendalian harga dan pasokan kebutuhan pokok.
"Contohlah negeri jiran yang mempunyai Undang-undang (UU) tentang Kawalan Harga. Dengan UU tersebut, pemerintah Malaysia bisa intervensi langsung jika terjadi gejolak harga dan pasokan," kata Tulus.
Pemerintah Indonesia juga dapat meniru India yang memiliki Strategic Commodity Act. Menurut Tulus, selama ini pemerintah nyaris tak bisa berbuat banyak untuk turut campur saat harga kebutuhan pokok melonjak tajam di pasaran.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo juga pernah mengusulkan pemerintah menyusun UU pengendalian harga pangan untuk mengendalikan inflasi. Langkah ini perlu dilakukan seperti Malaysia sudah menerapkan aturan Price Control Act sejak 1946 dan dilanjutkan dengan Control Supply Act yang rilis pada 1961.
"Kami usulkan supaya ada UU Harga Pangan supaya ada semacam pengendali harga," tegasnya.
Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:
Data Beras Tak Akurat, Ini Pembelaan Mentan Amran
Kementerian Pertanian (Kementan) menyerahkan data produksi beras ke Badan Pusat Statistik (BPS). Hal tersebut untuk menanggapi masalah data produksi beras yang diduga menjadi akar masalah tingginya harga di pasaran.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyampaikan hal itu usai membuka Rapat Kerja Nasional Pertanian Tahun 2018 di Hotel Bidakara Jakarta, Senin (15/1/2018).
"Data serahkan BPS kita satu pintu. Yang terpenting adalah kita melihat tidak ada impor jagung masuk di Indonesia 2017," kata dia.
Menanggapi perdebatan data pasokan beras, Amran menggunakan hitungan kasar. Dia mengatakan, musim tanam berlangsung pada Oktober. Jadi, dengan umur padi sekitar tiga bulan, panen akan terjadi pada Januari.
"Logika sederhana ya Oktober hujan, sepakat? Umur padi tiga bulan. Daripada kugunakan data, daripada diperdebatkan kita hitung-hitungan di lapangan. Oktober hujan, berarti tanam. Umur padi tiga bulan, Oktober, November, Desember, berarti Januari ada panen," ujar dia.
Selanjutnya, panen akan terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada Februari.
"Ada ya, kalau ada berarti ada, Februari lihat. Kalau normal, Februari masuk panen puncak. Februari, Maret April," ujar dia.
Advertisement