Tahun Politik Jadi Ancaman Perekonomian RI?

Saat krisis 1997-1998 terjadi, para pelaku bisnis tidak menimbang siapa penguasa waktu itu ataupun pihak yang ditunjuk mengelola ekonomi.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 25 Jan 2018, 12:10 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2018, 12:10 WIB
Target Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2018
Suasana deretan gedung bertingkat dan rumah pemukiman warga terlihat dari gedung bertingkat di kawasan Jakarta, Jumat (29/9). Pemerintah meyakinkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,4 persen tetap realistis. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia akan memasuki tahun politik pada 2018. Muncul kekhawatiran jika tahun politik bisa memberi dampak besar hingga menurunkan perekonomian nasional.

Kekhawatiran ini dibantah pengamat ekonomi politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fachri Ali. Menurut dia, tahun politik tak memberi dampak pada perekonomian Indonesia, termasuk pada kinerja pasar saham.

"Harga saham umumnya memberikan respons terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang dianggap dalam bahasa populernya tidak pro-pasar," kata dia dalam sebuah diskusi di Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Menariknya, kata Fachri Ali, istilah pro-pasar menunjukkan posisi pebisnis yang memiliki kemampuan negosiasi terhadap negara. Pebisnis yang bersikap lurus atau hanya berurusan pada urusan bisnis yang akan merespons kebijakan pemerintah.

"Merekalah yang memberikan respons terhadap kebijakan ekonomi yang dibuat negara. Apakah masuk akal konteks atau tradisi pasar atau tidak. Dan harga saham ditentukan itu bukan pertarungan politik," ucap dia.

Dia melanjutkan, pasar saham berjalan dengan harapan dan hitungan atau kalkulasi pebisnis. Sejalan dengan itu, mekanisme pasar pun berjalan.

"Pasar itu suatu kekuatan yang mengalokasikan resources secara efisien melalui mekanisme supply and demand. Menurut saya, harga saham lepas ada yang goreng jauh bersifat teknikal, jauh dibandingkan dengan politik. Sebesar apa pun pertarungan politik tak berpengaruh harga saham," dia menjelaskan.

Dia mencontohkan, saat krisis 1997-1998 terjadi, para pelaku bisnis tidak menimbang siapa penguasa waktu itu ataupun pihak yang ditunjuk mengelola ekonomi. Pelaku usaha hanya melihat kebijakan yang diambil pemerintah dalam menghadapi krisis.

"Inilah yang saya maksud pebisnis telah tampil sebagai kekuatan yang bisa bernegosiasi oleh negara," tukas dia.

Mendagri: Pilkada Serentak Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa adanya gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang dilaksanakan pada tahun ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Nasional. Namun, memang pelaksanaan pilkada serentak tersebut lebih boros dibanding pilkada biasa.

Tjahjo menjelaskan, gelaran pilkada serentak membuat konsumsi meningkat. Peningkatan tersebut melalui pembelian atribut kampanye secara bersamaan yang diproduksi usaha kecil dan menengah. Dengan adanya produksi massal ini akan mendorong‎ pertumbuhan ekonomi.

"Harusnya dengan pilkada itu pertumbuhan daerah akan meningkat. Orang bikin kaus buat kampanye, sektor-sektor kecil itu ada pertumbuhan yang bagus. Harusnya begitu,‎" kata Tjahjo, di Kantor Bank Indonesia, Jakarta, Senin (21/1/2018).

Tjahjo juga menyatakan, biaya yang dikeluarkan pada pilkada serentak jauh lebih besar atau lebih boros jika dibandingkan dengan pilkada yang diselenggarakan sendiri-sendiri. Namun memang, dengan pemborosan tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi

"Pilkada serentak itu justru yang kami tangkap tidak efisien, semakin tinggi biayanya dibandingkan pilkada satuan. Tapi semakin tumbuh ekonomi," tuturnya.

Tjahjo mengkui, perkiraannya dalam pilkada serentak meleset, karena ajang pesta demokrasi tersebut tidak lebih hemat, tetapi justru lebih boros.

"‎Dengan pilkada serentak karena harusnya (biaya) semakin kecil, tetapi enggak, malah semakin besar biayanya," kata Tjahjo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya