Liputan6.com, Jakarta Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira memprediksi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) masih akan berada pada Rp 13.790 sampai 13.810 per per Dolar AS. Rupiah dalam sesi perdagangan minggu kedua Maret 2018 masih terus melemah.Â
"Rupiah diprediksi akan terus melemah hingga akhir Maret. Titik terendah pelemahan rupiah bisa mencapai 14.000 per dolar tahun ini," ujar Bhima di Jakarta, Sabtu (3/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, pelemahan rupiah salah satunya akibat pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang mengisyaratkan suku bunga akan naik dalam waktu dekat. Kebijakan The Fed tersebut juga memicu bank sentral negara maju seperti ECB dan BOJ melakukan pengetatan moneter.
"Bahkan bisa sampai 3 kali kenaikannya tahun ini. Powell mengonfirmasi bahwa The Fed solid lakukan pengetatan moneter dan normalisasi balance sheet-nya tahun ini. Kebijakan Fed ini juga memicu bank sentral negara maju seperti ECB dan BOJ melakukan pengetatan moneter. Efek snowball yang dikhawatirkan pelaku pasar," jelas Bhima.
Efek berikutnya imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun meloncat ke 2,9 persen, tertinggi dalam 4 tahun terakhir. "Otomatis yield spread dengan SBN Indonesia makin sempit. Investor akhirnya mencatat penjualan bersih dan memburu surat utang AS," jelasnya.
Bhima menambahkan, faktor internal seperti inflasi Februari yang rendah di level 0,17 persen dan laporan keuangan beberapa emiten yang positif tidak bisa menahan penjualan bersih investor asing. Aliran modal asing keluar dari pasar modal Indonesia saat ini mencapai Rp 8,6 triliun (ytd) sejak awal 2018.
Reporter: Anggun P Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Sempat Sentuh 13.800 per Dolar AS, Ini Kata Bos OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pelemahan rupiah yang terjadi saat ini hanya berlangsung sementara. Nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp 13.800 per dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu.
Ketua OJK Wimboh Santoso menuturkan, kondisi saat ini pernah terjadi pada Mei 2013. Saat itu terjadi kekhawatiran tentang rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) akan berdampak ke pelemahan rupiah. Kenyataannya, kenaikan suku bunga acuan hanya berlangsung setahun kemudian.
"Jadi yang penting jangan kena pancing, saat itu juga market juga bergejolak tapi sebenarnya tak perlu, ini tak apa apa," jelas dia di Bandung, Sabtu (3/3/2018).
Wimboh menceritakan, kala itu perekonomian Indonesia diprediksi fragile akibat kebijakan suku bunga The Fed. Padahal, kondisi ini tak benar-benar terjadi.
Seperti kali ini, diprediksi jika Bank Sentral AS akan menaikkan suku bunga hingga 4 kali di tahun ini. Menurut dia, kalaupun terjadi kenaikan suku bunga diprediksi hanya akan terjadi reaksi kecil saja.
Bank Sentral AS pun dikatakan sudah diingatkan agar melakukan kebijakannya secara perlahan dan bertahap serta hati-hati. Ini untuk menghindari spekulasi.
"Sebab pasar butuh waktu untuk adjust. Jadi boleh naik tapi jangan mendadak harus ada adjust  karena pasar butuh waktu," dia menuturkan.
Dia menilai, fluktuasi rupiah jangan selalu dipandang negatif. Diakui, ini akan memengaruhi impor barang yang menjadi lebih mahal, tetapi eksportir juga menuai untung dari pelemahan rupiah.
"Jadi ini hanya sesaat saja jadi tidak terus khawatirkan seperti terjdi tahun 1997dan 1998, itu jauh. Cadangan Devisa bagus saat ini di posisi US$ 130 miliar dibandingkan 2008 hanya US$ 110 miliar. Kita jadi tak peru dikhawatir. Ada angin sedikit karena investor portofolio," dia menandaskan.
Tonton Video Ini:
Advertisement