Liputan6.com, Jakarta - Sisil (28) lajang. Dalam 4 tahun karier profesionalnya, gajinya sudah lewat dua digit. Karenanya, pantas kalau banyak yang menduga dia sudah punya rumah dan isi rekeningnya pun tebal.
Namun siapa sangka, Sisil ternyata sama sekali tidak punya tabungan. Gajinya selalu habis di akhir bulan. Dia sendiri kadang bingung ke mana saja uangnya.
Setelah tagihannya diaudit, terungkap bahwa sebagian besar uang Sisil habis untuk membeli kopi, jajan, dan berbagai hal remeh-temeh lainnya. Akumulasinya termasuk besar, hingga Sisil sendiri pun kaget dengan jumlahnya.
Advertisement
Baca Juga
Pola finansial seperti yang dialami Sisil rasanya cukup banyak terjadi pada kalangan anak muda sekarang. Atau jangan-jangan Anda pun sering mengalaminya? Jika demikian, Anda juga perlu melakukan audit terhadap pola keuangan Anda. Karena jika dibiarkan, suatu saat Anda bisa mengalami kesulitan.
Simak paparan Danaxtra tentang bahaya latte factor dan cara mengatasinya berikut ini.
Latte Factor yang Membahayakan
Apa yang dialami Sisil ini dalam istilah para penasehat keuangan disebut dengan latte factor. Istilah ini dicetuskan David Bach, seorang motivator dan pengusaha yang juga menulis buku bertajuk Finish Rich.
Bach menyebut, latte factor merujuk pada kebiasaan orang menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari.
Istilah latte dipilih merujuk pada kebiasaan kaum urban minum kopi setiap hari. Tapi, sebenarnya kebiasaan ini tak hanya pada kopi saja tapi juga rokok, jajan, dan banyak hal lainnya.
Sayangnya, banyak orang tidak menyadari bahwa pengeluaran-pengeluaran kecil ini tidak memberikan banyak manfaat besar dalam kehidupannya, bahkan bisa mengancam kondisi keuangannya.
Pengeluaran yang sering dilakukan dan setiap hari, meski nilainya kecil, jika dijumlahkan dalam seminggu, sebulan, bahkan setahun, ternyata nilainya fantastis.
Jika pengeluaran ini dikurangi dan hasilnya ditabung dan dinvestasikan, maka akan menjadi sumber pendapatan yang sangat besar dan bisa menstabilkan keuangan Anda.
Dengan istilah latte factor ini, Bach coba mengingatkan kita tentang bahaya pengeluaran kecil tapi sering kita lakukan. Mungkin saat mengeluarkan uang Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu tidak terasa besar. Tapi, jika dijumlahkan angka ini akan menjadi sangat besar dan sangat berpengaruh pada kondisi keuangan seseorang di masa depan.
Cara Menghitung Latte Factor
Jika Anda masih ragu dengan kebenaran latte factor ini, berikut penjelasan dan trik megatasinya agar Anda lebih baik mengelola keuangan Anda.
Hitungannya sebenarnya sangat sederhana. Bayangkan jika Anda setiap hari membeli kopi dengan ukuran terkecil. Harga satu cup-nya Rp 30 ribu, belum lagi jika Anda menambahnya dengan donat atau cake sebagai teman makan Anda.
Dalam seminggu, berarti Anda merogoh Rp 210 ribu. Dalam satu bulan, angka ini menjadi Rp 1 juta. Dalam setahun, minimal Rp 12 juta keluar dari dompet Anda untuk urusan yang satu ini!
Angka ini akan semakin fantastis, jika ternyata tidak hanya gemar ngopi, tapi juga merokok. Misalnya, Anda dalam sehari menghabiskan minimal satu bungkus rokok, maka uang yang Anda belanjakan untuk rokok mencapai Rp 20 ribu sehari. Jika dikumpulkan, dalam sebulan angka ini akan menjadi Rp 1 jutaan.
Belum lagi urusan makan di luar. Di Jakarta, untuk menikmati seporsi makanan dan minuman di sebuah restoran menengah, seseorang harus merogoh kocek Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Jika diambil tengahnya, maka kira-kira menjadi Rp 150 ribu.
Jika dalam satu minggu Anda dua kali makan di restoran, berarti Anda sudah membelanjakan Rp 300 ribu dari kantung Anda. Sebulan Rp 1,2 juta dan setahun Rp 14,4 juta!
Nah untuk kaum Hawa, mungkin Anda sering melakukan window shopping baik di pusat perbelanjaan maupun toko online. Tanpa disadari, ini juga bisa menjadi latte factor Anda.
Mungkin Anda hanya merogoh Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu sekali belanja. Tetapi jika ini sering dilakukan, maka jumlahnya akan menggunung. Dan, ini akan semakin sia-sia jika barang yang Anda beli ternyata tidak terlalu dibutuhkan.
Masih ada beberapa hal lain seperti biaya administrasi bank, biaya ATM, paket pulsa, paket internet, atau tv kabel dan sebagainya yang tidak Anda sadari menjadi latte factor yang sebenarnya bisa dihindari atau dikurangi.
Bayangkan jika Anda bisa mengurangi separuh dari semua belanja Anda ini, maka minimal Anda bisa menyisihkan Rp 25 juta setahun. Jika jumlah ini Anda tabung atau diinvestasikan, maka di hari tua Anda tinggal ongkang-ongkang kaki.
Advertisement
Kenali Latte Factor Anda dan Ubahlah dari Sedikit
Yang pertama harus dilakukan adalah mengenali apa yang menjadi latte factor Anda! Coba sisir jejak pengeluaran Anda dalam 2-3 bulan terakhir. Identifikasi apa saja pengeluaran rutin yang nilainya tak seberapa, tapi jika dijumlahkan dalam sebulan atau setahun angkanya menjadi fantastis.
Jika sudah mengenali latte factor Anda, mulai sekarang cobalah untuk mengubah kebiasaan itu, apakah itu kebiasaan beli kopi, jajan, atau nongkrong di restoran setiap akhir pekan. Tidak mudah memang, tapi jika disiplin, Anda akan merasakan manfaatnya.
Mengurangi kebiasaan beli kopi, jajan, makan di restoran, belanja online, paket pulsa, biaya ATM, tidak akan serta-merta membuat Anda kaya mendadak. Tapi yakinlah, semua ini akan memberikan Anda kebebasan finansial di masa depan.
Misalnya, mulai mengurangi kebiasaan ngopi di kafe. Kalaupun harus ngopi, Anda bisa meracik sendiri di rumah. Mulai biasakan memasak makanan sendiri. Selain lebih sehat, biaya yang dikeluarkan pasti tidak sebesar makan di luar.
Satu lagi yang tanpa Anda sadari, tapi banyak menyedot dana adalah biaya transaksi keuangan, baik lewat ATM, mobile atau internet banking seperti transfer antar rekening, pembelian pulsa, pembayaran tagihan dan sebagainya. Itu semua dikenakan biaya. Mungkin terkesan sepele, tapi secara tidak sadar, semakin banyak transaksi akan semakin banyak pula biaya yang harus Anda bayarkan.
Mungkinkah Latte Factor Dihentikan?
Tujuan utama latte factor adalah untuk mengenali pengeluaran harian dan berusaha menyadari saat harus mengeluarkan biaya untuk hal-hal yang dirasa penting.
Poin penting dari Bach bukanlah untuk membuat seseorang menjadi kaya, tapi memberi ide supaya seseorang lebih sadar sebelum memutuskan untuk membelanjakan uangnya.
Cermati, apakah benar barang, makanan/minuman atau jasa yang Anda bayarkan memang dibutuhkan? (Oya, sebelumnya coba Anda berkaca, seperti apa sih sebenarnya bagaimana karakter Anda dalam mengelola keuangan? Simak juga sikap finansial yang disarankan)
Jadi, ini bukan berarti Anda harus harus mengubah total kebiasaan yang sudah rutin Anda lakukan. Anda cukup mengurangi atau mengendalikan kebiasaan ini dan bukan langsung menghentikannya.
Sesekali nongkrong bareng untuk ngopi atau makan di restoran tentu tidak jadi masalah. Bagaimanapun keseimbangan hidup diperlukan, toh kita berhak untuk sesekali menikmati hasil jerih payahnya, bukan?
Kalau memang tidak punya waktu menonton televisi, kenapa harus memaksa langganan TV kabel? Demikian juga kenapa harus membayar biaya bulanan gym yang mahal, jika ternyata Anda tidak punya cukup waktu untuk itu?
Jika Anda sudah menyadari itu semua, mungkin Anda bisa lebih fokus pada tujuan besar Anda. Misalnya, Anda ingin liburan panjang keliling dunia atau memiliki apartemen sendiri beberapa tahun ke depan, maka mengurangi latte factor ini akan membuat Anda merealisasikan mimpi Anda. Atau mungkin Anda bisa lebih cepat mapan secara finansial. Selamat mencoba!
Advertisement