Kata Peneliti LIPI soal Aturan Pengupahan

Peneliti ketenagakerjaan Titik Handayani mempersoalkan rumus penghitungan dan penetapan upah minimum provinsi (UMP).

oleh Merdeka.com diperbarui 26 Mar 2018, 14:22 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2018, 14:22 WIB
Ilustrasi Upah Buruh
Ilustrasi Upah Buruh (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Ketenegakerjaan, Titik Handayani, mempersoalkan rumus penghitungan dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan.

Dia menilai, penghitungan upah minimum dengan berdasarkan pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional malah menimbulkan ketimpangan.

"Menggunakan pertumbuhan ekonominya dan inflasinya nasional itu enggak adil," ujar dia ketika ditemui, di Gedung LIPI, Jakarta, Senin (26/3).

Ia berpandangan, berbedanya tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi setiap daerah seharusnya diperhatikan dalam proses penetapan UMP.

"Harusnya pakai inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah masing-masing," kata dia.

Selain itu, Titik juga mendorong Pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan para tenaga honorer dengan cara memberikan upah layak atau minimal sesuai UMP.

"Harusnya iya ya (tenaga honorer diberikan gaji sesuai UMP). Masuk kalau di instansi pemerintah. Paling tidak minimum," ujar dia.

Sebelumnya, pemerintah sudah menetapkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan pada Oktober 2015. Sesuai PP Nomor 78 Tahun 2015, kenaikan upah mempertimbangkan laju inflasi dan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan mempertimbangkan dua hal tersebut.

 

Reporter: Wilfridus S.

Sumber: Merdeka.com

 

Kenaikan Upah Belum Bisa Dorong Daya Beli Masyarakat

Ilustrasi Upah Buruh
Ilustrasi Upah Buruh (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Sebelumnya, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8,71 persen dinilai tidak akan meningkatkan daya beli masyarakat secara signifikan di 2018.

Sebab, di tahun depan, inflasi diprediksi akan lebih dari 4 persen. Hal tersebut diungkapkan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara.‎

"Dampak ke daya beli tidak signifikan, karena 8,71 persen itu pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Inflasinya saja sudah 3,7 persen. Artinya peningkatan upah riil hanya 5 persen. Jadi tidak terlalu signifikan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin 18 Desember 2017.

Menurut dia, di tahun depan inflasi nasional bisa lebih dari 4 persen. Hal tersebut terjadi jika pemerintah melakukan penyesuaian harga pada sejumlah komponen energi, seperti listrik, BBM dan gas.

"Sehingga kenaikan upah akan tergerus oleh inflasi. Jadi upah riil yang diterima oleh buruh menjadi lebih rendah. Nah, di sini tantanganya," lanjut dia. Sementara di sisi lain, sejak dua tahun terakhir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mulai diterapkan, justru terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja. Dari data BPS, per Agustus 2017 pengangguran mengalami kenaikan sebesar 10 ribu orang.

"Artinya kenaikan upah meski sudah dibatasi, tapi formula itu tidak cocok. Karena dampak kepada daya beli, dampak ke produktivitas tidak meningkat sama sekali," ucap dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya