YLKI: 41 Persen Konsumen Kecewa dengan Layanan Transportasi Online

Sepeda motor sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai transportasi umum.

oleh Septian Deny diperbarui 11 Apr 2018, 11:55 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2018, 11:55 WIB
Minta Penetapan Tarif, Ribuan Pengemudi Ojek Online Geruduk Istana
Seorang pengemudi ojek online membawa bendera merah putih saat melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3). Mereka juga meminta legalitas angkutan ojek online. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan 41 persen konsumen transportasi online merasa dikecewakan dengan layanan yang diberikan oleh jasa transportasi tersebut. Hal ini diharapkan menjadi perhatian dari pemerintah untuk lebih ketat mengatur transportasi ini.

Hal tersebut disampaikan Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam Focus Group Discussion (FGD) Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) bertema Dampak Sharing Ekonomy terhadap Sektor Pariwisata, Properti, dan Perumahan.

Dia mengatakan, YLKI telah melakukan survei terhadap 4.600 konsumen transportasi online terhadap layanan yang diberikan penyedia transportasi tersebut. Hasilnya, 41 persen menyatakan pernah dikecewakan dengan layanan yang diberikan.‎

"Dari 4.600 responden, 41 persen merasa kecewa dengan transportasi online, meski kita sehari-hari pakai transportasi ini," ujar dia di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (11/4/2018).

Menurut Tulus, selain soal layanan, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah masalah penggunaan motor dan mobil pribadi sebagai transportasi umum. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), sepeda motor sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai transportasi umum.

"Ini perdebatan apakah masuk transportasi umum atau tidak. Karena dalam UU dua kendaraan ini tidak masuk dalam angkutan umum," kata dia.

Kemudian, kata dia, belakangan muncul masalah penetapan tarif untuk ojek online oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Menurut Tulus, sepeda motor tidak masuk dalam transportasi umum, maka pemerintah tidak bisa mengintervensi soal tarif. ‎

"Jadi kalau mau intervensi pada tarif ini harus dibereskan dulu (aturannya). Jadi diserahkan saja pada pemainnya, yang penting tidak melanggar UU Persaingan Usaha. Tarif silakan tentukan sendiri," tandas dia.

Kontribusi Transportasi Online

Minta Penetapan Tarif, Ribuan Pengemudi Ojek Online Geruduk Istana
Ribuan pengemudi ojek online melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah melakukan penetapan tarif standar dengan nilai yang wajar. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Sebelumnya, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menyatakan, kontribusi perusahaan transportasi online seperti Go-Jek terhadap ekonomi Indonesia sangat besar. 

Bahkan kontribusinya tersebut lebih besar dari hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) yang sebesar Rp 9,9 triliun terhadap perekonomian Indonesia.

Rhenald Kasali mengatakan, ada inovasi seperti transportasi online memberikan efek berganda (multipler effect) yang besar, bukan hanya di sektor transportasi, tetapi juga bidang lain.

"Mendefinisikan start-up baru bukan semata-mata dari single product, karena ini menciptakan platform. Dan kalau platform itu dampaknya bukan cuma di dalam suatu industri tertentu,“ ujar dia pada 4 April 2018.

Selain itu, kata Rhenald, ada transportasi online juga mampu menciptakan efisiensi bagi masyarakat, baik dari sisi waktu, maupun biaya yang harus dikeluarkan.

"Jadi, pertama adalah platform, dan yang kedua adalah efisiensi. Platform ini adalah revolusi kehidupan, dampak pada kehidupan yang sangat besar. Dan yang kedua itu efisiensi yang diciptakan. Masyarakat bisa mengurangi biaya karena tidak harus menambah kendaraan,” kata dia.

Namun demikian, Rhenald menyatakan masyarakat, khususnya para pengusaha, juga harus siap dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan penetrasi teknologi yang semakin gencar. Dengan demikian, pengusaha tetap bertahan di tengah perkembangan teknologi yang ada.

“Persoalannya adalah banyak orang Indonesia yang belum paham perbedaan bahwa dalam transformasi digital yang diciptakan pemain-pemain baru ini bukanlah produk, tapi platform. Kalau platform itu lintas produk dan lintas industri," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya