Liputan6.com, Jakarta - Kalangan lndustri makanan dan minuman menilai putusan pemerintah dalam penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap impor bahan baku kemasan plastik akan menyebabkan guncangan terhadap industri makanan dan minuman yang menjadl sandaran ekonomi Indonesia.
Juru bicara Forum Lintas Asosiasi lndustri Makanan dan Minuman (FLAIMM), Rachmat Hidayat mengatakan, kebijakan tersebut memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding positifnya.
"Usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk mengenakan pajak antara lima persen hingga 26 persen terhadap bahan baku plastik kemasan selama lima tahun akan berdampak secara langsung terhadap industri yang pada akhirnya akan melakukan langkah efisiensi,”kata Rachmat dalam sebuah diskusi di Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Advertisement
Efisiensi tersebut, lanjutnya akan membuat harga makanan dan minuman berkemasan menjadi mahal. Rachmat mengungkapkan, saat ini petisi telah diajukan oleh Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap Polyethylene therephthalate (PET) yang diduga dumping dari China, Korea Selatan dan Malaysia.
Baca Juga
HasiI investigasi KADI menyatakan ketiga negara tersebut terbukti dumping sehingga diperlukan kebijakan BMAD sebanyak 5 persen hingga 26 persen.
Sementara itu, lanjutnya, dari sisi hukum, jika pengenaan BMAD tersebut diterapkan oleh pemerintah, menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana justru tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
"Pihak petisioner tidak memiIiki legal standing berdasarkan Pasal 1 ayat (17) PP No. 34 Tahun 2011 karena terbukti berafiliasi dengan eksportir produsen barang yang diduga dumping serta melakukan importasi atas barang dan negara yang diduga melakukan dumping tersebut," ujarnya.
Menanggapi rekomendasi KADI, Rachmat menyatakan jika BMAD diberlakukan, hal ini akan memberatkan industri makanan minuman yang menyumbang pertumbuhan ekonomi melalui pajak, devisa hasil ekspor, investasi dan penyerapan tenaga kerja.
"Bahkan saat di tengah perlambatan ekonomi pun, neraca perdagangan produk makanan dan minuman sanggup mencatatkan tren positif. Tahun 2016, industri makanan dan minuman sanggup mencatatkan nilai ekspor setara USD 263 miliar atau surplus USD 163 miliar,” ujar Rachmat.
Rachmat menjelaskan, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri makanan dan minuman merupakan penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dari sektor non migas terbesar yaitu 34,34 persen dengan serapan tenaga kerja lebih dari 4 juta orang pada 2017.
"Itu belum termasuk multiplier effect industri makanan minuman yang rata-rata mencapai empat kali Iipat sejak hulu hingga hilir,” ujar dia.
Melihat capaian kinerja yang secara konsisten, tidak mengherankan jika industri makanan dan minuman ditempatkan pemerintah dalam urutan teratas industri prioritas nasional dalam Rancangan Pengembangan lndustri Nasional 2015-2035.
Meski demikian, industri ini juga mengalami tantangan yang sangat besar yaitu menurunnya daya beli masyarakat dan kepastian bahan baku untuk industri di tengah derasnya arus perdagangan bebas yang telah disetujui pemerintah.
Selanjutnya
Dalam kesempatan serupa, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengatakan setidaknya ada dua dampak yang akan terjadi dari pengenaan BMAD terhadap impor PET.
Pertama, akan menyebabkan biaya industri makanan dan minuman meningkat sehingga memaksa kalangan industri meningkatkan harga jual. Pada akhirnya kondisi akan menurunkan permintaan pasar yang berakibat pada turunnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
"Penurunan permintaan akibat pengenaan BMAD sekitar sebesar 11-12 persen dengan penerimaan PPN berpotensi menurun sekitar Rp 230 miliar," kata Piter.
Kemudian, lanjutnya, dengan asumsi bahan baku produksi dalam negeri memiliki kualitas yang sama dan Iebih murah, industri makanan dan minuman akan memilih membeli produksi dalam negeri yang akibatnya menurunkan impor dan penerimaan bea masuk akan menurun drastis.
"Dalam penerapan pengenaan BMAD, industri makanan dan minuman yang mayoritas merupakan perusahaan kecil dan mikro akan paling dirugikan dalam hal penurunan permintaan serta, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja. Soal pengangguran potensial ini tentu isu besar di tahun politik,” kata dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement