Survei IAS: Lingkungan Online RI Punya Risiko Merek Tertinggi di Asia

Lingkungan daring Indonesia punya risiko tertinggi terhadap keamanan merek di Asia. Selain itu, tingkat visibilitas lebih rendah dibandingkan tolok ukur Asia dan patokan global.

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Apr 2018, 16:00 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2018, 16:00 WIB
Jangan Sampai Tertipu, Kenali Jenis Toko Online Sebelum Belanja
Ternyata, tak banyak masyarakat yang mengenali jenis-jenis toko online. Padahal, toko-toko online ini memiliki perbedaan tersendiri. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Lingkungan daring atau online Indonesia punya risiko tertinggi terhadap keamanan merek di Asia. Selain itu, tingkat visibilitas lebih rendah dibandingkan tolok ukur Asia dan patokan global.

Hal ini berdasarkan laporan Integral Ad Science (IAS), perusahaan pengukuran dan analisis global yang memberdayakan industri periklanan.

IAS merilis laporan kualitas media Asia Tenggara, Hong Kong, dan Taiwan untuk pertama kali pada semester II 2017. Laporan ini mencakup tolok ukur kualitas media di seluruh keamanan merek, penipuan iklan, dan keterlihatan pada platform dekstop, video global, web seluler,dan aplikasi seluler data dari Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Selain itu,ada data dari Hong Kong dan Taiwan.

Dari laporan itu menunjukkan, lingkungan daring Indonesia memiliki risiko merek tertinggi dengan angka mencapai 9,1 persen. Angka ini jauh di atas Asia Tenggara 3,5 persen dan tolok ukur global 7,9 persen.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari miliaran tayang yang dianalisis pada paruh kedua tahun lalu, lingkungan daring Indonesiatermasuk paling berisiko di wilayah tersebut. Ini ditunjukkan dari 9,1 persen tayangan iklan online ditandai untuk ditampilkan bersamakonten yang menghadirkan risiko terhadap keamanan merek.

Laporan itu menyebutkan, lebih dari dua pertiga tayangan berisiko di Indonesia termasuk dalam kategori bahasa yang menyinggung dan kategori berita kontroversial. Bahasa kasar dan kategori berita kontroversial untuk tampilan desktop dalam pembelian langsung penerbityaitu 92,6 persen pada semester II 2017. Ini mungkin saja karena masuknya cakupan penerbit premium di sekitar bahasa yangmenyinggung dan berita kontroversial yang diklasifikasikan sebagai risiko moderat.

Sebagai perbandingan, risiko merek di semua jenis pembelian di Asia Tenggara, Hong Kong dang Taiwan adalah 3,5 persen yang berada di bawah patokan global 7,9 persenpada semester II 2017.

Thailand mencapai 8,6 persen memiliki risiko merek tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia.Sementara Singapura dan Malaysia memiliki lingkungan daring paling aman dengan hanya 2,5 persen dan 2,2 persen dari iklan yang ditampilkan bersama konten berisiko.

Metrik risiko merek IAS mencirikan keamanan lingkungan tempat iklan muncul. Tayangan ditandai bila muncul bersama konten berisiko seperti konten dewasa, konten alkohol, perkataan yang mendorong kebencian, unduhan ilegal. Selain itu, obat-obatan terlarang, bahasa kasar dan kekerasan,yang timbulkan risiko bagi keamanan merek.

 

Selanjutnya

Belanja online
Ilustrasi belanja online. (Doc: Techno FAQ)

IAS juga melaporkan kalau Indonesia memiliki visibilitas yang lebih rendah dengan penilaian mencapai 53,2 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkanAsia Tenggara sebesar 58,9 persen dan rata-rata global 55,8 persen.

Visibilitas iklan online di Asia Tenggara, Hong kong dan Taiwan adalah 58,9 persen yang berada di atas patokan global 55,8 persen pada semester II 2017.Sebagai perbandingan, Indonesia pada 53,2 persen menunjukkan kinerja lebih rendah dari pada Asia Tenggara dan rata-rata global.

"Laporan ini menunjukkan pentingnya bagi pengiklan dan pembeli dan penjual media digital untuk melihat KLHS di tingkat negara. Tampilan keamanan mereksecara keseluruhan relatif rendah di 3,5 persen di semua wilayah, tetapi mencapai puncaknya di Indonesia sebesar 9,1 persen," ujar Niall Hogan, DirekturPelaksana Asia Tenggara, Ilmu Penegtahuan Iklan Terpadu, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Senin (30/4/2018).

Ia menuturkan, pihaknya juga melihat rendahnya tingkat penipuan di sebagian besar pasar Asia Tenggara, tetapi tinggi pada 20,7 persen di Singapura. Ini kemungkinan besar karena penipu mengejar CPM yang lebih tinggi yang terdapat di pasar Singapura.

"Hanya dengan melihat data mereka sendiri, di pasar yang berbeda di mana mereka beriklan, bahwa pengikla akan dapat identifikasi potensi masalah, dan akhirnya membuat perubahan yang meningkatkan efisiensi dan menghemat uang mereka," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya