Serikat Pekerja Pertagas Meminta Kuasa Saham Dwiwarna Segera Diserahkan ke Pertamina

Sejak dimulainya proses holding, beberapa aksi korporasi telah melumpuhkan kaki dan tangan Pertamina untuk tetap unggul dalam bisnis gas.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 22 Mei 2018, 11:51 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2018, 11:51 WIB
PT Pertamina
logo pertamina

Liputan6.com, Jakarta Serikat Pekerja PT Pertamina Gas (Pertagas) meminta percepatan pemberian kuasa saham dwiwarna PT Perusahaan Gas Negara (PGN) kepada Pertamina seiring diterbitkannya Surat Kuasa (SKU), agar Pertamina memiliki kontrol penuh dalam ‎menjalankan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Minyak dan Gas Bumi (Migas).

Ketua Serikat Pekerja Pertamina Gas (SPPG) Nugeraha Junaedy mengatakan, saham dwiwarna PGN milik pemerintah tak kunjung dikuasakan kepada Pertamina dalam bentuk SKU. Dengan demikian, pengendalian dan kontrol kebijakan strategis PGN masih di tangan Kementerian BUMN, bukan di Pertamina.

"Seharusnya dengan masuknya PGN ke Pertamina, secara otomatis PGN berdiri sama seperti anak perusahaan Pertamina lainnya, bukannya memiliki kekebalan hukum khusus,” kata Nugeraha di Jakarta, Selasa (22/5/2018).‎

Menurut dia, Serikat Pekerja Pertagas mendukung holding migas. Namun‎, percepatan pemberian kuasa saham dwiwarna PGN kepada Pertamina, dengan segera diterbitkannya SKU agar Pertamina memiliki kontrol penuh dalam mengelola PGN.

"Sama seperti Pertamina mengelola anak perusahaannya yang lain," ujarnya.

‎Nugeraha mengungkapkan, holding migas merupakan strategi yang disusun pemerintah untuk mengembangkan bisinis gas nasional. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memberikan energi gas yang merata ke seluruh pelosok Indonesia melalui sinergi bisnis yang efisien dan efektif.

"Dengan misi itulah maka dibentuk holding migas di mana PGN masuk menjadi bagian dari Pertamina. Seharusnya pengembangan bisnis gas ini menjadi kerja sama integrasi dari dua badan usaha pemain utama bisnis gas Indonesia," kata dia.

Namun, menurut Nugeraha, dalam perjalanannya proses holding migas menjadi suatu kompetisi yang tidak sehat. Posisi tawar salah satu pihak menjadi lebih lemah dibandingkan pihak lainnya. Dalam hal ini, Pertamina kehilangan posisi strategis yang mengawal proses holding migas.

 

Proses Holding

Truk Tangki Pertamina
Truk tangki Pertamina usai mengisi pasokan BBM di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Boyolali.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Sejak dimulainya proses holding, beberapa aksi korporasi telah melumpuhkan kaki dan tangan Pertamina untuk tetap unggul dalam bisnis gas. Indikasinya dapat dilihat dari, pertama adalah dengan diterbitkannya SK No 39/MBU/02/2018 yang menghapuskan Direktorat Gas Pertamina.

“Direktorat yang seharusnya berperan sebagai sub-holding gas yang nantinya akan menjalankan fungsi strategis pengelolaan bisnis gas justru dihapuskan. Ini menjadi awal keganjilan proses holding migas,” ungkap ‎Nugeraha.

Indikasi kedua adalah kekosongan posisi Komisaris Utama PT Pertamina Gas (Pertagas). Sebelumnya, posisi Komisaris Utama Pertagas diisi Direktur Gas Pertamina.

Beliau telah habis masa jabatan sejak 23 Maret 2018. Namun, posisi Komisaris Utama Pertagas hingga saat ini tidak kunjung diisi. Ketiga adalah pencopotan Direktur Utama Pertamina sejak 20 April 2018.

“Kejanggalan dalam pencopotan tersebut disertai dengan keputusan untuk pengosongan jabatan tersebut. Padahal, di saat yang sama, seharusnya Kementrian BUMN dapat langsung menunjuk pengganti Direktur Utama Pertamina yang baru,” lanjut Nugeraha.

Nugeraha mengungkapkan, puncaknya adalah tindakan pencopotan Direktur Utama Pertagas per 16 Mei 2018. "Serupa dengan nasib Direktur Utama Pertamina, tampaknya pucuk pimpinan Pertagas dipandang sebagai posisi yang akan menghambat proses holding migas, sehingga melalui RUPS Sirkuler posisi Direktur Utama Pertagas dikosongkan entah sampai kapan,” dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya