Putusan MK soal Ojek Online Mesti Dorong Pemda Bangun Transportasi Umum

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum pada Kamis 28 Juni 2018.

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Jun 2018, 20:47 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2018, 20:47 WIB
Tuntut Kenaikan Tarif, Ribuan Ojek Online Geruduk Gedung DPR
Pengemudi ojek online saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung MPR DPR, Jakarta, Senin (23/4). Dalam aksinya mereka menuntut kenaikan tarif. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak melegalkan ojek online sebagai alat transportasi umum pada Kamis 28 Juni 2018.

Djoko Setijowarno, Peneliti Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata menyatakan, keputusan MK tersebut sudah tepat. Kehadiran layanan angkutan berbasis teknologi telah menjadi kendaraan idaman bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Misalkan ojek online (ojol) yang dianggap sebagai transportasi yang efektif dan efisien untuk membantu mobilitas seseorang di tengah padatnya aktivitas keseharian.

Namun, perkembangannya sudah membuat wajah kota semakin tidak tertata lalu lintas. Parkir sembarangan, handphone di taruh di atas dashboard, melawan arus sudah menjadi kebiasaan yang bahayakan pengemudi dan penumpang.

"Sepeda motor dapat mengangkut orang. Namun, bukan sebagai angkutan umum. Dalam kondisi transisi seperti sekarang, ojek masih dapat beroperasi dalam wilayah terbatas. Bukan harus beroperasi hingga di jalan utama dalam kota seperti yang terjadi sekarang di banyak kota di Indonesia,” kata dia dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/6/2018).

Oleh karena itu, ia mengimbau agar jangan terlalu lama membiarkan bisnis ojek online angkut orang. Ia menilai, orang bepergian harus dilindungi dengan layanan transportasi umum yang humanis.

Selain itu, Djoko menilai, pengemudi ojek online bukan profesi menjanjikan. Ini karena hanya sementara dan jangan berlanjut lama. “Jam kerja dan cara point telah membuat pengemudi ojek online bekerja tidak mengenal waktu rata-rata lebih dari 8 jam sehari dan tidak ada waktu libur. Jika sakti dan dapat bantuan BPJS negara juga merugi,” kata dia.

Untuk sementara waktu, Djoko menilai pemerintah daerah (pemda) dapat mengatur penyelenggaran ojek online baik wilayah operasi dan jam operasionalnya.

Saat ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk membangun transportasi umum. "Kalau kepala daerahnya tidak berpikir membangun transportasi umum tidak mungkin bisa terwujud," tutur dia.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar pemerintah daerah menciptakan layanan transportasi umum yang terintegrasi dan menggapai setiap kawasan pemukiman dan perumahan. “Kepala daerah harus mulai memikirkan ini bukan sekadar janji saat kampanye tetapi segera diwujudkan,” ujar dia.

Selanjutnya

Minta Penetapan Tarif, Ribuan Pengemudi Ojek Online Geruduk Istana
Ribuan pengemudi ojek online melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3). Dalam aksinya mereka menuntut pemerintah melakukan penetapan tarif standar dengan nilai yang wajar. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Sebelumnya, dalam sidang, MK menolak gugatan uji materi UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) terkait penggunaan angkutan umum. Ketentuan tersebut hanya mengatur kendaraan umum roda empat, sedangkan untuk transportasi roda dua atau ojek belum diatur.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman.

Kasus bermula saat pengemudi ojek online, Yudi Arianto, dan 16 rekannya menggugat UU LLAJ. Merasa haknya tidak dijamin UU, mereka memberikan kuasa kepada Komite Aksi Transportasi Online (KATO). Pemohon meminta agar transportasi online diakui sebagai transportasi umum, seperti halnya taksi online.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan ojek online tetap dapat berjalan meski tidak diatur dalam UU LLAJ. Menurut hakim, polemik ojek online ini bukan permasalahan konstitusional. 

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya