Pengusaha Makanan Akui Belum Ada Perusahaan Kolaps Gara-gara Rupiah Melemah

Dampak pelemahan Rupiah terhadap industri makanan dan minuman (mamin) cukup membuat para pelaku industri harus memutar otak.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jul 2018, 19:00 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2018, 19:00 WIB
Rupiah Melemah.
Petugas tengah menghitung uang rupiah di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat belum beranjak dari 14.300 per USD. Nilai tukar ini jauh dari target Pemerintah dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.000 per USD.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, dampak pelemahan Rupiah terhadap industri makanan dan minuman (mamin) cukup membuat para pelaku industri harus memutar otak.

Sebab para pelaku industri mematok batas level kurs Rupiah di pasar spot berkisar antara 13.600-14.000 per USD.

"Kita sebenarnya ingin stabil. Tapi kalau tahun ini terlanjut mengikuti APBN patokannya Rp 13.600. Tapi, biasanya industri ada toleransinya Rp 14.000. Tapi, ternyata Rp 14.000 sudah melewati, ancamannya masih terjadi. Makanya saya katakan industri ini lagi hitung-hitungan," kata Adhi di Jakarta, Sabtu (7/7).

Akibat dari pelemahan mata uang Garuda ini, para pelaku industri mamin tengah mempertimbangkan untuk menaikkan harga jual. Langkah ini diambil untuk menutupi hasil keuntungan dari penjualan (margin).

"Saya perkirakan pengaruhnya terhadap bahan pokok sekitar 3 sampai 6 persen, tergantung industrinya, jenis bahan kategori pangannya apa. Semakin besar ketergantungan impornya semakin tinggi harga kenaikan pokok produksinya. Ini kita sedang me-review apakah perlu naik harga pokoknya atau tidak?," ujarnya.

Adhi mengatakan, pertimbangan lainnya para pelaku industri mamin harus mengambil tindakan untuk mengganti bahan baku, mengganti bahan kemasan, dan mengubah harga jual. Tetapi, langkah itu juga masih dalam kajian.

"Dengan kenaikan harga ini, kita sedang menghitung apakah margin yang ada di industri mampu menutupi kenaikan ini?. Ujung-ujungnya kalau tidak bisa, jalan satu-satunya adalah naik harga," ucap Adhi.

"Kalau kita naikkan harga agar marginnya tidak tergerus, apakah pasar kuat, apakah daya beli mendukung, dan ini lagi hitung-hitungan. Masing-masing bisnis sedang mempertimbangkan itu," tambahnya.

Adhi mengatakan meski Rupiah alami fluktuasi bahkan cenderung melemah, hingga kini belum ada pelaku industri termasuk industri mamin yang kolaps.

"Definisi terganggu dengan kenaikan harga pokok itu jelas terganggu. Tapi, saya belum mendengar ada industri yang berhenti atau stuck karena pelemahan rupiah ini," tandasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Stabilkan Rupiah, Cadangan Devisa RI Tergerus USD 3,1 Miliar

Rupiah Melemah Tipis, Dolar AS Apresiasi ke Rp 13.775/US$
Petugas menunjukkan uang kertas rupiah di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). Rupiah hari ini diperdagangkan dengan kisaran Rp 13.766 -Rp 13.778 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bank Indonesia (BI) merilis posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2018 sebesar USD 119,8 miliar, atau turun USD 3,1 miliar dari Mei 2018 sebesar USD 122,9 miliar.

Penurunan cadangan devisa pada Juni 2018 terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Agusman mengatakan, meskipun lebih rendah dibandingkan posisi Mei, cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor serta cukup untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah," ujar Agusman melalui siaran pers, Jakarta, Jumat (6/7/2018).

Cadangan devisa tersebut juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

"Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai didukung keyakinan terhadap stabilitas dan prospek perekonomian domestik yang tetap baik, serta kinerja ekspor yang tetap positif," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya