Otto Hasibuan Paparkan Awalnya Sjamsul Nursalim Terbelit BLBI

Otto Hasibuan selaku kuasa hukum dari Sjamsul Nursalim mempertanyakan perkara yang kini belit klien-nya terkait penerbitan SKL BLBI.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 25 Jul 2018, 17:31 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2018, 17:31 WIB
Massa Geruduk KPK Tuntut Penuntasan Kasus BLBI dan Century
Massa menggelar aksi teatrikal dan membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/7). Massa menuntut KPK segera menuntaskan kasus mega skandal BLBI dan Century. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Otto Hasibuan selaku Kuasa Hukum dari Sjamsul Nursalim mempertanyakan perkara yang kini membelit klien-nya terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Dalam kasus ini, Sjamsul berposisi sebagai pemegang saham pengendali BDNI. Dia menuturkan, tudingan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2017 lalu yang menyatakan ada kerugian negara akibat penerbitan SKL kepada BDNI kontradiktif dengan proses awal penerbitan surat tersebut.

"Setelah 20 tahun kemudian, BPK pada 2017 mengeluarkan hasil audit baru, yang mengatakan ada kerugian negara akibat pemberian SKL. Bagiamana ini bisa terjadi? Kalau kita punya hutang sudah diteken terus diproses lagi, bagaimana? Itu sebabnya saya katakan kalau tidak ada kepastian hukum," keluhnya di Le Meridien Hotel, Jakarta, Rabu (25/7/2018).

Seperti diketahui, SKL ini diterbitkan pada 2004 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Lebih lanjut, Otto pun menceritakan awal mula BDNI bisa terbebani BLBI sejak 1998. Dia memaparkan, pada kurun waktu 1997-1998 terjadi krisis multidimensi di Tanah Air yang menaikkan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dari 3.800 jadi 17 ribu.

"Bunga bank pada saat itu juga hampir 80 persen, bahkan ada yang sampai 200 persen dalam satu hari. Bank manapun pasti hancur karena ini," ujar dia.

"Makanya pemerintah kemudian membuat kebijakan dengan memberi bantuan likuiditas (BLBI) agar bank jadi likuid, bisa bayar hutang," ia menambahkan.

 

Berbagai Proses Dilalui

Massa Geruduk KPK Tuntut Penuntasan Kasus BLBI dan Century
Polisi menjaga unjuk rasa yang dilakukan oleh ratusan massa Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/7). Massa menuntut KPK segera menuntaskan kasus mega skandal BLBI dan Century. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Pemerintah RI melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di masa itu kemudian mengambil langkah dengan take over 48 bank yang keuangannya goyang, termasuk BDNI pada 4 April 1998. 

Dia melanjutkan, pemerintah secara sepihak lalu menghitung jumlah piutang bank yang dinyatakan sebesar Rp 42 triliun. "Setelah itu dihitung berapa harta bank yang ada, maka setelah dipotong tinggal Rp 27,8 triliun," kata dia.

Menanggapi nominal uang yang tidak sedikit tersebut, sambungnya, Sjamsul kemudian menyerahkan harta pribadinya sebesar Rp 1 triliun sebagai biaya tanggungan. "Pada 25 Mei 1998, dilakukan closing setelah segala persyaratan harta diselesaikan. Diberikan Release and Discharge, yang mengklaim utang sudah selesai," kata dia.

Otto menyampaikan, berbagai proses hukum pun terus dilalui oleh klien-nya sampai kemudian badan hukum Ernst & Young memberikan laporan Financial Due Dilligence (FDD) yang menyatakan utang Sjamsul lunas dan dikeluarkan SKL.

"Bagi Sjamsul padahal enggak perlu SKL, karena sudah ada Release and Discharge. Selesai. Tapi mungkin suasananya waktu itu biar pasti makanya dikeluarkan SKL," tutur Otto.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya