Pengamat: Kenaikan Harga Ayam dan Telur Siklus Tahunan

Guru Besar IPB Dwi Andreas Santosa menyatakan, kenaikan harga yang terjadi pada ayam dan telur merupakan siklus tahunan

oleh Septian Deny diperbarui 31 Jul 2018, 09:30 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2018, 09:30 WIB
Harga Telur Ayam Mulai Merangkak Turun di Pasar Minggu
Penjual menunjukkan telur dagangannya di Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (24/7). Harga telur ayam mengalami penurunan di angka Rp 26 ribu per kilo. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan, kenaikan harga ayam dan telur merupakan siklus tahunan. Oleh sebab itu, lonjakan harga ini harusnya tidak perlu dikhawatirkan.

Dia mengungkapkan, dalam 5 tahun terakhir, pada Januari harga ayam dan telur selalu naik, kemudian akan turun pada Maret-April. Harga akan kembali naik pada Juni-Juli seperti saat ini dan kemudian turun mulai Agustus. ‎

"Kalau harga dagingnya (ayam) memang tinggi di Januari. Daging dan telur hampir sama grafiknya. Kemudian akan turun di Maret, di April terendah. Mei naik lagi sampai Juni-Juli. Agustus nanti turun sampai di September paling rendah. Setelah itu, November-Desember itu naik lagi," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Andreas menyatakan, pada tahun ini memang ada sejumlah faktor yang membuat lonjakan harga terkesan lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, seperti pelemahan rupiah, harga pakan dan kebijakan larangan penggunaan Antibiotic Growth Promoters (AGP). Namun, hal tersebut dinilai hanya berkontribusi kecil terhadap kenaikan harga.

"Ada yang bilang karena pengaruh pelemahan rupiah, lalu ada kebijakan pemerintah. Tapi ini hanya karena fluktuasi tahunan. Analis lain bilang karena antibiotik, tapi itu pengaruhnya kecil. Rupiah juga pengaruhnya kecil," ucap dia.

 

Pola Ternak

Tembus Rp 50 Ribu per Kg, Peternak Keluhkan Harga Bibit Ayam Fluktuatif
Peternak memberikan makan pada ayam pedaging broiler di kawasan Cipelang, Bogor, Jawa Barat, Selasa (24/7). Harga daging ayam naik mencapi angka Rp 50 ribu per kilogram. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Menurut Andreas, yang paling berpengaruh terhadap harga sebenarnya adalah pola tenak di dalam negeri. Dan pola ini terus berulang dari tahun ke tahun, sehingga fluktuasi harga ayam dan telur pasti akan terjadi.

"Karena pola budidaya. Seperti padi, Mei pasti harga beras naik karena paceklik. Budidaya ayam juga sama. Kita impor GPS (grand parent stock) pada waktu tertentu, ketika DOC (day old chicken) populasinya turun, pasti harga naik. Apalagi kita Lebaran, banyak di layer yang ayam sudah tua dipotongin, sehingga produksi telurnya juga turun jadi harga naik. Itu sudah terjadi tahunan," ucap dia.

Oleh sebab itu, lanjut Andreas, masyarakat dan pemerintah tidak perlu panik. Kenaikan harga yang terjadi belakangan ini juga dinilai masih dalam level yang wajar.

"Tidak perlu khawatir, pemerintah panik intervensi berlebihan, harusnya tidak perlu panik. Kalau daging ayam puncaknya di Januari Rp 34 ribu per kg. Telur puncak harga di Januari di atas Rp 25 ribu, setelah itu turun. Juli puncaknya Rp 24 ribuan. Nanti Agustus-September turun. Kita bicara rata-rata nasional, jangan hanya melihat harga di Jakarta saja," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya