Liputan6.com, Jakarta Pelemahan nilai tukar Rupiah serta tingginya bahan bakar pesawat (avtur) membuat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) memutuskan untuk menunda pemesanan pesawat baru. Hal ini sebagai upaya menekan biaya operasional perseroan.
"Kita semua sudah sepakat akan lakukan penundaan pemesanan pesawat. Jadi memang kalau dilihat fleet plan kita, mungkin hingga akhir tahun ini jumlah moda pesawat kita tetap sama yakni sekitar 202 pesawat,"Â ujar Direktur Utama Perseroan Pahala N Mansury di Gedung Garuda Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (30/7/2018).
Pahala menjelaskan, Perseroan akan secara seksama memperhatikan fluktuasi perkembangan harga avtur kedepannya. Oleh karena itu, perseroan akan melakukan fuel saving dan fuel hedging dengan rasio lindung nilai (hedging) sampai 50 persen.
Advertisement
"Jika fuel ini naik sampai 12 persen dan porsinya 35 persen, biaya kita nanti bisa terpengaruh hingga 4 persen-an. Jadi nanti kita cek apakah fuel ini kedepanya bakal naik terus atau tidak," dia menambahkan.
Pahala memastikan, perseroan akan terus mengevaluasi target pertumbuhan laba perusahaan untuk tahun ini. "Jadi memang kita lagi dalam proses review, target awal kita tahun ini adalah untung USD 8 - USD 10 Juta,"Â dia menandaskan.
Rupiah Masih Bakal Terombang-ambing hingga 2019
Nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan terombang-ambing sampai tahun depan. Diperkirakan, rupiah baru akan stabil setelah 2019. Sentimen yang mempengaruhi gerak nilai rupiah lebih banyak dari luar negeri.
"Kalau sekarang masih sulit ditebak faktor globalnya. Fed Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) dan ECB (European Central Bank) akan serempak naikkan suku bunga di 2019," ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com, dikutip Senin (30/7/2018)
"Ada tahun politik juga di 2019, efek ke spekulasi," dia menambahkan.
Baca Juga
Volatilitas rupiah dapat terjaga selepas 2019 yang sarat dengan tensi panas tahun politik, sehingga dana asing mulai dapat masuk lagi ke Indonesia.
"Selain itu, perang dagang Amerika Serikat (AS)-China akan menemui konsesus alias kedua belah pihak sepakat mengakhiri kenaikan bea masuk. Sama seperti AS yang berdamai dengan Eropa," ungkapnya.
Seperti diketahui, ketegangan perseteruan dagang antara AS dan Uni Eropa mereda beberapa waktu lalu setelah Presiden AS Donald Trump dan Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker mencapai kata mufakat untuk menurunkan hambatan tarif (tariff barrier) dan hambatan nontarif.
Namun begitu, Bhima menyebutkan, ia belum bisa memperkirakan secara pasti kapan perang dagang AS-China dapat tuntas.
"Belum tahu pastinya. Semoga di 2019 sudah clear. Ini kan China dituduh lakukan devaluasi yuan (mata uang Tiongkok). Itu memperkeruh keadaan," tutur dia.
Advertisement