RI Ajak Pengusaha Turki Berinvestasi di Sektor Infrastruktur

Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar mengembangkan skema Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA) sebagai upaya membangun infrastruktur.

oleh Septian Deny diperbarui 02 Agu 2018, 11:25 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2018, 11:25 WIB
Ilustrasi proyek infrastruktur.
Ilustrasi proyek infrastruktur. (Dok Kementerian PUPR)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengajak para investor Turki untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Bambang‎ dalam Investment Opportunities in Indonesia pada acara Forum Promosi Investasi Indonesia-Istanbul yang diselenggarakan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Istanbul, di Istanbul, Turki.

Bambang mengatakan, Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar mengembangkan skema Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA) sebagai upaya membangun infrastruktur.

Dia pun mengundang para investor Turki untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini mengingat keberhasilan Turki dalam mengelola investasi melalui skema Public-Private Partnership (PPP), seperti pembangunan bandar udara terbesar di dunia Istanbul New Airport yang memiliki enam runway dan daya tampung 500 pesawat.

"Turki merupakan salah satu negara yang berhasil mengimplementasikan skema PPP pada berbagai sektor infrastruktur, antara lain jembatan, jalan tol, hingga bandara," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (2/8/2018).

Dalam kunjungannya ke Turki, Bambang bersama rombongan juga mengunjungi Jembatan Yavuz Sultan Selim di Selat Bhosporus, serta berdiskusi dengan Direktur Investasi Infrastruktur IC Holding Murat Sogancioglu sebagai pemegang konsesi dari jembatan tersebut.

Jembatan Yavuz Sultan Selim ini merupakan hasil kerjasama Pemerintah Turki dengan pihak swasta melalui skema pembiayaan non-anggaran pemerintah.

Melalui kunjungan ke Turki, dia berharap investor Turki dapat menjadi mitra strategis Indonesia dalam pembangunan infrastruktur di dalam negeri baik melalui skema PPP maupun PINA.

"Turki diharapkan dapat menjadi mitra strategis Pemerintah Indonesia yang memiliki misi menjadi pusat ekonomi Islam dunia, termasuk di dalamnya peran ekonomi Islam dalam pembangunan infrastruktur," tandas dia.

Jaga Defisit Transaksi Berjalan, Indef Dukung Penundaan Proyek Infrastruktur

Melihat Perkembangan Proyek MRT Stasiun Bundaran Hotel Indonesia
Pekerja usai mengecek kondisi rel kereta MRT di Stasiun Bundaran HI, Jakarta, Senin (25/6). Menurut Dirut PT MRT William Sabandar, saat ini sedang persiapan testing commissioning dan Maret 2019 akan mulai beroperasi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mendukung langkah pemerintah yang akan menunda sejumlah proyek infrastruktur. Penundaan tersebut untuuk menjaga defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) pada 2018.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengungkapkan, pengendalian impor bisa dimulai dengan menahan proyek infrastruktur pemerintah yang masih dalam tahap perencanaan atau yang tidak sesuai target.

"Misalnya, proyek pembangkit listrik 35 ribu MW (Mega Watt) yang awalnya didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi 7 persen. Saat ini ekonomi cuma tumbuh 5 persen, maka proyek pembangkit wajib dirasionalisasi," jelas dia kepada Liputan6.com, seperti dikutip Senin (30/7/2018).

Dia mengibaratkan, menunda pembangunan infrastruktur itu ibarat sekali tepuk tiga nyamuk kena semua. Pertama, ia menyampaikan, menahan pembangunan proyek beberapa infrastruktur artinya menyelamatkan rupiah.

"Pelemahan rupiah disumbang oleh naiknya impor besi baja hingga 39 persen dari Januari-Mei 2018. Nilainya enggak tanggung-tanggung, yaitu USD 4,2 miliar. Belum ditambah impor mesin peralatan listrik naik 28 persen nilainya USD 8,9 miliar. Itu sebagian digunakan untuk proyek infrastruktur," katanya.

Kedua, Bhima menambahkan, proyek infrastruktur didanai melalui utang dalam bentu valas. Menurut dia, kewajiban cicilan dan pembayaran bunga utang tiap tahunnya turut menguras devisa, sehingga harus direm dalam kondisi ekonomi melemah.

Adapun hal ketiga, ucapnya, yakni soal devisa tenaga kerja dari Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di proyek infrastruktur. "Mereka mendapatkan uang yang akan dikonversi ke mata uang negara asalnya. Jadi, ada capital flight dari devisa TKA. Itu pun bisa dikurangi," katanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya