Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menilai saat ini ketidakpastian ekonomi global meningkat di tengah dinamika pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, ketidakpastian ekonomi global semakin tinggi dengan munculnya risiko rambatan dari gejolak ekonomi di Turki.
"Gejolak ekonomi Turki disebabkan oleh kerentanan ekonomi domestik, persepsi negatif terhadap kebijakan otoritas, serta meningkatnya ketegangan hubungan Turki dengan AS," kata Perry, di kantornya, Rabu (15/8/2018).
Advertisement
Baca Juga
Perry menegaskan, BI akan mewaspadai gejolak yang sedang terjadi di Turki dan faktor eksternal lainnya.
"Termasuk kemungkinan dampak rambatan dari Turki, meskipun diyakini bahwa ketahanan ekonomi Indonesia cukup kuat didukung oleh indikator fundamental ekonomi yang sehat dan komitmen kebijakan yang kuat," ujar dia.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dunia masih tidak merata. Ekonomi AS diperkirakan tetap tumbuh kuat didukung akselerasi konsumsi dan investasi. Sementara itu, ekonomi Eropa, Jepang dan Tiongkok masih cenderung menurun.
Dengan perkembangan tersebut, the Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat (AS) diprediksi tetap melanjutkan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) secara bertahap. Sementara European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan ( BOJ) cenderung masih menahan kenaikan suku bunga.
"Di samping kenaikan suku bunga FFR, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dipicu oleh ketegangan perdagangan antara AS dan sejumlah negara, yang mendorong kebijakan balasan yang lebih luas, termasuk melalui pelemahan mata uang di tengah berlanjutnya penguatan dolar AS secara global," kata Perry.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Investor Harus Rasional Tanggapi Krisis Turki
Sebelumnya, Ekonom Universitas Gadjah Mada Yogyakarya Tony Prasetiantono mengatakan, pasar dunia seharusnya lebih rasional dan tidak cenderung berlebihan dalam menanggapi krisis Turki.
Menurut dia, krisis Turki seharusnya tidak menyebabkan sentimen negatif yang sedemikian besar. Sebab krisis Turki sebenarnya tidak terlalu membahayakan ekonomi dunia.
"Kalau kita lihat Turki ini perekonomian yang tidak besar-besar amat ya. GDP total sekitar USD 900 miliar. Dia (Turki) tidak punya efek yang besar seperti Yunani. Yunani kan anggota Euro. Kalau Yunani krisis, dia bisa menghantam zona Eropa. Turki kan bukan, sehingga daya rusaknya tidak akan menular ke Eropa. Tidak seberat krisis Yunani yang akan berimbas ke Euro, yang GDP totalnya sekitar USD 20 triliun," ungkapnya, Selasa 14 Agustus 2018.
Dia berpandangan, krisis Turki kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh pasar. Sebab kondisi perekonomian global sudah lebih dahulu dibuat 'mencekam' oleh perang dagang dan kenaikan suku bunga acuan The Fed.
"Kenapa Turki itu berpengaruh. Karena Perekonomian dunia sedang miskin berita baik, miskin sentimen positif. Sehingga sentimen negatif yang sebenarnya tidak terlalu besar akhirnya memberikan dampak yang lebih besar, melebihi yang seharusnya. Kalau istilah kita, respon pasar dunia agak lebay terhadap Turki," katanya.
Karena itu, dia berharap, pasar global dapat segera sadar dan kembali bersikap rasional dalam menanggapi krisis Turki.
"Jadi mudah-mudahan pasar jadi lebih rasional. Saya punya harapan mudah mudahan pasar lekas menyadari bahwa Turki bukan faktor yang sangat penting untuk merusak ekonomi dunia," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement