Rupiah Masih Lebih Kuat Hadapi Dolar AS Dibandingkan Mata Uang 6 Negara G20 Ini

Pelemahan rupiah terkait dengan krisis keuangan yang terjadi di Turki, Argentina dan Brazil. Krisis keuangan yang terjadi di negara tersebut diduga mirip dengan Indonesia pada 1998.

oleh Nurmayanti diperbarui 05 Sep 2018, 10:15 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2018, 10:15 WIB
Rupiah Melemah terhadap Dolar AS
Tabel data kurs valuta asing yang berada di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Rupiah terus melemah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir. Meski demikian, ternyata pelemahan nilai tukar rupiah masih tak terlalu besar dibandingkan mata uang beberapa negara lain yang merupakan anggota G-20.

Mengutip data Bloomberg, Rabu (5/9/2018), sejak awal tahun 2018 hingga pertengahan agustus 2018, nilai tukar rupiah tercatat masih lebih mampu menahan penguatan Dolar AS. Ini dibandingkan dengan mata uang 6 negara anggota G-20 yakni Turki, Argentina, Rusia, Brasil, Afrika Selatan dan India.

Rupiah hanya melemah 7,7 persen terhadap Dolar AS. Kondisi berbeda terjadi pada Lira Turki yang melemah 80,43 persen dan Peso Argentina melemah 56,90 persen.

Demikian pula bila dibandingkan Rubel Rusia yang melemah 17,62 persen serta Real Brasil yang melemah 16,66 persen.

Negara anggota G20 lainnya, Rand Afrika melemah 16,65 persen dan Rupee India yang melemah 9,66 persen.

Ternyata, pelemahan rupiah terkait dengan krisis keuangan yang terjadi di Turki, Argentina dan Brazil. Krisis keuangan yang terjadi di negara tersebut diduga mirip dengan Indonesia pada 1998.

Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menuturkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini didorong karena masalah sentimen.

Efek krisis keuangan yang terjadi di Turki dan Argentina itu berdampak terhadap negara berkembang termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia juga mencatatkan defisit perdagangan dan transaksi berjalan.

Tercatat defisit transaksi berjalan sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat sebesar USD 8 miliar.

Angka itu meningkat dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang hanya sebesar 1,96 persen dan juga lebih besar dari kuartal I 2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.

Budi mengatakan, pemerintah perkuat ekonomi dengan infrastruktur sehingga butuh barang impor dan pembangunan infrastruktur dilakukan di tengah Amerika Serikat (AS) memperketat kebijakan moneternya. Hal tersebut mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Kondisi nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS pada 2018, menurut Budi berbeda dengan 1998.

"Sekarang tidak seperti 1998. Indonesia sudah bertobat. Ada hal yang buat kondisinya berbeda. Pertama, sekarang flexible rate, dulu fixed rate ketika rupiah melemah utang perusahaan jadi lebih besar dari aset. Kemudian sekarang bank sudah ada yang mengawasi," ujar Budi saat dihubungi Liputan6.com.

Budi menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ini jadi momen pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dan meningkatkan ekspor.

"Pelemahan rupiah obat tata diri kurangi impor, bisa genjot ekspor dan manfaatkan tourism sehingga jaring dolar AS," ujar Budi.

Dalam laporan menyikapi gejolak rupiah, Budi menyebutkan, faktor kenaikan suku bunga, penguatan dolar Amerika Serikat (AS), dan kenaikan harga minyak ini memukul negara berkembang yang banyak berutang valas dan impor bahan bakar minyak.

"Sentimen terhadap negara berkembang saat ini cenderung memburuk seperti ditunjukkan oleh pelebaran angka credit default swap dan JP Morgan emerging market spread. Fenomena yang kemudian terjadi adalah rotasi investasi antar aset dan antar regional menuju negara maju,” tutur dia.

Tonton Video Ini

Rupiah Terdepresiasi, Kondisi Ekonomi RI Masih Baik

Rupiah Melemah Tipis, Dolar AS Apresiasi ke Rp 13.775/US$
Sejumlah uang kertas rupiah ditunjukkan petugas di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). Rupiah hari ini diperdagangkan dengan kisaran Rp 13.766 -Rp 13.778 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika menyatakan, tekanan terhadap rupiah antara lain berasal dari defisit transaksi berjalan. Pada kuartal II 2018, neraca transaksi berjalan masih tercatat defisit dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Neraca perdagangan, yang berperan menjaga neraca transaksi berjalan, masih tertekan lonjakan harga minyak dan kebutuhan impor untuk sektor industri. Di sisi lain, nilai ekspor sepanjang Januari-Juli 2018 menjadi yang tertinggi dalam empat tahun terakhir. Pemerintah akan memastikan sampai akhir 2018 terjadi surplus neraca perdagangan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (5/9/2018).

Meski terdapat tekanan dari sisi eksternal, lanjut dia, kondisi ekonomi domestik secara umum masih cukup baik. Pertumbuhan kuartal II 2018 mencapai 5,27 persen (yoy), inflasi 3,18 persen pada Juli dan cadangan devisa USD 118,32 miliar per Juli 2018.

"Cadangan devisa setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor jika ditambah dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut masih jauh dari batas standar internasional sebesar 3 bulan impor," lanjut dia.

Selain itu, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL)‎ juga rendah yaitu di bawah 3 persen. Demikian pula rasio kecukupan modal bank (CAR) juga sangat baik, sekitar 22 persen.

Artinya, kata Erani, bank-bank dalam kondisi yang kokoh dan tingkat suku bunga acuan BI bisa dikelola pada kisaran 5,5 persen.

"Ini masih membuka rongga yang lumayan lebar bagi dunia usaha untuk meneruskan ekspansi. Pemerintah juga terus menjaga APBN agar tetap sehat dengan meningkatkan potensi penerimaan, mempertajam kualitas belanja, dan memperkecil defisit keseimbangan primer," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya