Sanksi AS Terhadap Iran Bisa Dongkrak Harga Minyak Jadi USD 100 per Barel

Lonjakan harga minyak ini akan membuat pemerintahan Presiden Donald Trump disalahkan banyak pihak.

oleh Nurmayanti diperbarui 12 Sep 2018, 11:23 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2018, 11:23 WIB
Ilustrasi Harga Minyak Naik (3)
Ilustrasi Harga Minyak Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran yang mulai berlaku pada November, berpotensi mendorong harga minyak mentah dunia ke posisi USD 100 per barel.

Melansir laman CNBC, Rabu (12/9/2018), kontrak minyak mentah West Texas Intermediate AS diperdagangkan pada posisi USD 68 per barel pada Selasa, sementara minyak mentah Brent berjangka berada di posisi hampir USD 78 per barel.

"Jika tidak ada sanksi, saya pikir harga (minyak) akan mencapai USD 70 atau bahkan sedikit lebih rendah. Tapi sekarang ancaman sanksi nyata dan kurang dari dua bulan, yang akan mengubah pasar dan mendorong harga jauh lebih tinggi," kata Pendiri dan Kepala Konsultan FACTS Global Energy Fereidun Fesharaki di Forum Investor CLSA di Hong Kong.

Menurut dia, lonjakan harga minyak ini akan membuat pemerintahan Presiden Donald Trump disalahkan banyak pihak. "Tidak banyak yang bisa dilakukan jika sanksi jadi berlaku," jelas dia.

Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik diri dari perjanjian internasional terkait program nuklir Iran menghasilkan keluarnya sanksi yang dikenakan kembali pada sektor keuangan, otomotif, penerbangan dan logam di Iran.

Departemen Luar Negeri AS memberi tenggat waktu 4 November, bagi negara pembeli minyak Iran untuk benar-benar menghentikan pembelian minyak untuk menghindari sanksi Amerika.

Fesharaki mengingatkan jika Iran saat ini adalah salah satu eksportir minyak terbesar di dunia. Pemotongan pasokan dari Iran akan mendorong harga minyak bisa mencapai di atas USD 100 per barel karena produsen besar lainnya tidak dapat dengan mudah mengisi kekosongan pasokan dari negara ini.

Adapun Trump mengatakan melalui cuitan di Twitter pada Juli, jika harga minyak terlalu tinggi dan mendesak Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk menurunkan harga.

"Tetapi OPEC dan Rusia tidak memiliki kapasitas cadangan untuk meningkatkan pasokan lebih banyak lagi," lanjut Fesharaki.

Sementara, dia mengatakan, produksi minyak serpih AS juga mendekati kapasitas maksimum. "Sebuah kesalahan untuk percaya bahwa minyak serpih AS dapat mengisi kekosongan Iran. Nol," tambah dia.

Fesharaki menturkan, adapun kepastian waktu harga minyak bisa mencapai USD 100 per barel - tingkat yang tidak terlihat sejak 2014 - tergantung pada seberapa cepat AS dan China menyelesaikan perbedaan mereka di bidang perdagangan.

Friksi berkelanjutan antara dua ekonomi terbesar di dunia tersebut telah memberikan sentimen. 

"Saat ini, apa yang menahan (harga minyak) dari kenaikan adalah ketakutan, ketakutan ekonomi makro. Jika kesepakatan AS-Cina diselesaikan, harga minyak hanya memiliki satu cara yakni naik," dia menandaskan.

Harga Minyak Hari Ini

Ilustrasi Harga Minyak Naik
Ilustrasi Harga Minyak Naik (Liputan6.com/Sangaji)

Harga minyak mentah dunia naik lebih dari 2 persen dipicu sanksi Amerika Serikat (AS) yang menekan ekspor minyak mentah Iran. Serta adanya prediksi jika produksi minyak mentah AS pada 2019 akan tumbuh melambat dan mendorong kekhawatiran soal pasokan.

Melansir laman Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent naik USD 1,69, atau 2,2 persen ke posisi USD 79,06 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik USD 1,71, atau 2,5 persen menjadi USD 69,25 per barel.

Presiden Donald Trump mengatakan akan memberlakukan sanksi terhadap Iran. Ini membuat harga minyak mentah berada dalam premi risiko yang mencerminkan kekurangan pasokan yang mungkin terjadi ketika ekspor dari anggota OPEC terbesar ketiga tersebut terpangkas. 

Kenaikan harga juga terjadi setelah data industri dari American Petroleum Institute menunjukkan persediaan minyak mentah AS merosot 8,6 juta barel pekan lalu, dibandingkan perkiraan analis penurunan 805.000 barel. Rencananya, data resmi pemerintah AS baru akan dirilis pada Rabu.

"Para pelaku pasar sekarang mengevaluasi perkembangan ini dalam hubungannya dengan potensi penurunan lebih lanjut dalam output minyak dari Iran dan Venezuela, yang menggambarkan gambaran bullish harga yang signifikan," kata Abhishek Kumar, Analis Energi senior di Interfax Energy di London.

AS telah meminta kepada negara-negara sekutunya untuk mengurangi impor minyak Iran. Beberapa pembeli Asia, termasuk Korea Selatan, Jepang, dan India tampaknya termasuk didalamnya. Tetapi pemerintah AS tidak ingin membuat harga minyak dapat menekan kegiatan ekonomi atau bahkan memicu perlambatan pertumbuhan global.

Menteri Energi AS Rick Perry bertemu Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih pada Senin di Washington. Pemerintahan Trump mendorong negara-negara penghasil minyak besar untuk mempertahankan pasokan tinggi. Rencananya Perry akan bertemu dengan Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada hari Kamis di Moskow.

Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi adalah tiga produsen minyak terbesar dunia. Ketiganya memenuhi sekitar sepertiga dari hampir 100 juta barel per hari (bpd) dari konsumsi minyak mentah harian.

Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan pada hari Selasa bahwa Rusia dan sekelompok produsen di sekitar Timur Tengah yang mendominasi Organisasi Negara Pengekspor Minyak dapat menandatangani kesepakatan kerjasama jangka panjang baru pada awal Desember, kantor berita TASS melaporkan.  Namun Novak tidak memberikan rinciannya.

Negara OPEC dan non-OPEC telah secara sukarela menahan pasokan sejak Januari 2017 untuk memperketat pasar. Sejak saat itu, harga minyak mentah naik lebih dari 40 persen dan pasar kian ketata secara signifikan sehingga membuat ada tekanan pada produsen untuk meningkatkan output.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya