Jokowi Teken Perpres Pajak Rokok buat Tutupi Defisit BPJS Kesehatan

Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) baru soal pemanfaatan cukai rokok dari daerah untuk tutupi defisit BPJS Kesehatan.

oleh Merdeka.com diperbarui 18 Sep 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2018, 15:00 WIB
Pajak
Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) baru soal pemanfaatan cukai rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan atau disebut BPJS Kesehatan.

Juru Bicara Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan Perpres tersebut sudah ditandatangani oleh Jokowi.

"Perpres sudah ditandatangani dan sedang diundangkan di Kumham," kata Johan di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (18/9/2018).

Dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senin 17 September 2018, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan,  Perpres baru yang diteken Jokowi merupakan perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dengan ada Perpres baru ini, pemerintah pusat bisa menggunakan pajak rokok yang merupakan hak pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga Kota/Kabupaten untuk program JKN. Termasuk guna membantu menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan itu.

Adapun mekanismenya adalah, dari 50 persen penerimaan pajak rokok daerah sebanyak 75 persennya akan dialokasikan untuk program JKN.

BPJS Kesehatan mencatat, defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 mencapai Rp 16,5 triliun. Rincian tersebut terdiri dari defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.

 

Reporter: Titin Supriatin

Sumber: Merdeka.com

Kemenkeu Beri Dana Talangan BPJS Kesehatan Rp 5 Triliun

BPJS Kesehatan
Verifikasi digital klaim BPJS Kesehatan sudah diterapkan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta sejak 14 Maret 2018. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyatakan akan memberikan dana talangan untuk menutupi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Nasional (BPJS) Kesehatan sebesar Rp 5 triliun. Hal tersebut disampaikannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI).

"Kami ada dana talangan Rp 4,99 triliun yang sedang kami proses PMK sudah keluar. Insya Allah akhir pekan ini bisa cair paling cepat," kata Mardiasmo, Jakarta, Senin 17 September 2018.

Dalam rapat kerja bersama tentang Bailout BPJS Kesehatan mencatatkan defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 Rp 16,5 triliun. Rincian tersebut terdiri dari defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf, menyatakan pemerintah seharusnya bisa memberikan lebih besar lagi dana talangan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan.

"Kalau kita perhatikan apa yang disebut bailout itu Rp 4,993 triliun jauh dari kebutuhan. Kebutuhan itu Rp 16 triliun dengan kalau dikurangi kira-kira Rp 11 triliun," ungkap Dede Yusuf.

"Kami melihat ini ada seperti BPJS disuruh jungkir balik sendirian tanpa didukung oleh instrumen pemerintahan yang lain. Dalam konteks ini pemerintah lainnya ada Kementerian Kesehatan ada DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) ada Kementerian Keuangan," tambah dia.

Dede Yusuf menambahkan, dana talangan untuk BPJS Kesehatan itu harus dipikirkan secara matang dan serius. Sebab, dengan jumlah yang mencapai Rp 5 triliun hanya mampu bertahan sampai pada akhir 2018.

"Karena kalau hanya dengan Rp 5 triliun ini tentu mungkin setelah Desember kita akan kejang-kejang lagi. Jadi kalau mau kasih infus itu jangan tanggung-tanggung. Ada yang menganologikannya bahwa penambahan modal pada BUMN saja sampai puluhan triliun," sebutnya.

Untuk itu, Politisi Partai Demokrat tersebut berharap agar Kementerian Keuangan dapat mempertimbangkan kembali terkait dengan dana talangan yang akan diberikan ke BPJS Kesehatan.

"Menurut saya angka Rp 10-11 triliun untuk menyelamatkan defisit bukan satu hal yang besar. Karena yang merasakan itu juga ratusan juta masyarakat artinya ini juga satu peran penting bagi Kementerian Keuangan bahwa tidak cukup dengan angka Rp 5 triliun tersebut," pungkasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya