Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia menilai pemilihan umum (Pemilu) tidak pengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank Dunia proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,2 persen pada 2018.
Country Director World Bank Indonesia, Rodrigo Chavez, mengatakan angka tersebut bahkan akan meningkat pada 2019 meski akan ada momen pemilu.
"Dan di tahun 2019 secara bertahap meningkat hingga 5,3 persen pada tahun 2020," kata dia dalam acara laporan lndonesia Economic Quarterly Bank Dunia edisi September 2018 yang dirilis hari ini di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (20/9/2018).
Advertisement
Dia menuturkan, kebijakan fiskal telah memperkuat kebijakan moneter dalam mengisyaratkan komitmen Pemerintah terhadap stabilitas ekonomi.Â
Baca Juga
"Meskipun tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun pemilihan umum, defisit fiskal diproyeksikan menurun di kedua tahun tersebut, yang mengurangi pasokan aset berdenominasi rupiah," ujar dia.
"Pada tahun 2018, sebagian disebabkan oleh pertumbuhan penerimaan yang tinggi, terutama dalam 10 tahun ini, karena harga komoditas yang lebih tinggi dan dampak dari reformasi, karena peningkatan penerimaan cukai tembakau serta peningkatan kepatuhan, telah berkontribusi bagi penerimaan non-sumber daya alam yang lebih tinggi," tambah dia.
Pertumbuhan penerimaan yang tinggi ini, Â mengimbangi pengeluaran yang lebih tinggi, terutama pada subsidi, termasuk tunggakan dari tahun-tahun sebelumnya.
"APBN tahun 2019 mengantisipasi konsolidasi lebih lanjut berdasarkan target pendapatan dan pengeluaran yang realistis secara luas," ujar dia.
Dia melanjutkan, permintaan dalam negeri diperkirakan terus mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek.Â
"Percepatan yang tidak terlalu besar dalam konsumsi swasta diperkirakan akan berlanjut karena inflasi yang stabil, pasar tenaga kerja yang tinggi, dan menurunnya suku bunga pinjaman," ujar dia.
Sementara itu, konsumsi pemerintah juga diproyeksikan meningkat karena pertumbuhan penerimaan menciptakan ruang bagi konsolidasi fiskal dan pengeluaran tambahan.
"Pertumbuhan investasi diperkirakan akan tetap tinggi, yang pada awalnya oleh karena momentum investasi publik dan pertambangan terus berlanjut, dan kemudian dengan berkurangnya ketidakpastian politik pasca pemilihan umum," ujar dia.
Â
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
BI Terapkan Kebijakan Moneter Ketat pada 2019
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, arah kebijakan moneter Bank Indonesia pada 2019 tetap hawkish atau ketat. Upaya ini dilakukan untuk mengimbangi langkah Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed).
"Policy masih harus hawkish di tahun 2019," ujar Mirza saat memberikan paparan dalam rapat kerja dengan DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis 13 September 2018.
Mirza mengatakan, tahun ini masih akan terjadi kenaikan suku bunga sebanyak dua kali. Kenaikan tersebut diprediksi terjadi pada September dan Desember. Sedangkan pada 2019 akan terjadi penyesuaian suku bunga sebanyak 2 sampai 3 kali.
"Sehingga di dalam proyeksi BI bahwa suku bunga AS 2019 akan naik dari 2 persen sampai ke 3,25 persen. Jadi masih ada 1,25 persen lagi suku bunga AS meningkat," jelasnya.
Tekanan ini, kata Mirza, membuat bank sentral melanjutkan arah kebijakan moneter yang ketat. Pihaknya akan konsisten menerapkan kebijakan yang bersifat lebih mendahului atau ahead of the curve. "Sehingga BI sesuai, bahwa kami harus a head of the curve, kebijakan kami masih harus hawkish (ketat)," jelasnya.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara memprediksi bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan sampai 3,25 persen hingga 2019. Untuk diketahui, suku bunga The Fed saat ini berada pada angka 2 persen.
"Di dalam proyeksi kami di Bank Indonesia, kami perkirakan bahwa suku bunga Amerika Serikat 2019 akan naik sampai 3,25 persen. Jadi 2,0 persen sekarang masih akan naik sampai 3,25 persen," ujarnya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (13/9).
Mirza menjelaskan, pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat sebenarnya sudah direncanakan sejak 2013.
Pada 2013 Amerika Serikat memberikan aba-aba bahwa akan mulai melakukan pengetatat dan mulai 2013 pasar keuangan terutama emerging market mengalami volatility yang cukup tinggi.
"Suku bunga Amerika Serikat mulai naik di 2015 akhir. Sedangkan, pengetatan likuiditasnya dimulai 2014, jadi ada dua hal terjadi sekaligus dari Federal Reserve likuiditasnya berkurang dan suku bunganya naik," ujar dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement