Bos LPS Prediksi Suku Bunga BI Kembali Naik

Beberapa analis termasuk BI memprediksi bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan kembali hingga 2019

oleh Merdeka.com diperbarui 25 Sep 2018, 17:35 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2018, 17:35 WIB
(Foto: Merdeka.com/Yayu Agustini Rahayu)
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah (Foto:Merdeka.com/Yayu Agustini Rahayu)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Komisoner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), Halim Alamsyah memprediksi Bank Indonesia akan kembali menaikan suku bunganya pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) mendatang. Langkah itu diambil BI untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dengan menyesuaikan kondisi global.

Diketahui, beberapa analis termasuk BI memprediksi bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan kembali hingga 2019. Adapun suku bunga The Fed saat ini berada pada angka 2 persen.

"Karena BI pasti akan merespon subung (suku bunga) itu, berdasarkan target inflasi, mereka sudah umumkan seperti itu. Sekarang kondisinya berubah, karena skerang terutama Amerika Serikat, Eropa sudah mulai (menaikan suku bunga). Jepang masih belum dan beberapa negara lain mengehntikan quantitative easing-nya," kata Halim saat ditemui di Jakarta, Selasa (25/9/2018).

Halim menjelaskan, dengan adanya pelonggaran quantitative easing dari berberapa negara tersebut, maka berdampak pada kenaikan suku bunga yang diawali oleh The Fed. Apabila kondisi itu berjalan, maka mau tidak mau Indonesia pun harus menyesuaikan kenaikan suku bunga The Fed.

"Nah ketika itu terjadi subung kita harus naikkan mengikuti The Fed, KUR kita terpaksa melemah. Karena uang yang tadi masuk ke Indonesia, itu kembali lagi ke negara lain," imbuhnya.

"Akibatnya likuditas berkurang sementara kebutuhan likuiditas Indonesia masih tinggi karena pembangunan kita butuh banyak dana, ini yang terjadi," tambah Halim.

Oleh karena itu, BI sendiri berusaha mengimbangi agar penarikan dana keluar negeri tidak menganggu stabilas ekonomi dalam negeri. Sementara LPS akan memantau apakah ada pergerakan dana pihak ketiga (capital outflow) dari bank-bank yang pindah keluar negeri.

"Sejauh ini berdasarkan pantauan kami tidak ada gerakan yang luar biasa. Biasa ada nasabah pindah dari satu bank ke bank lain, menafaatkan subung yang lebih tinggi itu biasa," jelasnya.

Diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2018 memutuskan untuk menaikkan Bank Indonesia (BI) 7-day Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 5,50 persen.

Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen dan Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen.

Kenaikan ini merupakan yang keempat kali sepanjang tahun berjalan 2018. Sebelumnya BI menahan suku bunga acuan di posisi 5,25 persen pada Juli. BI sudah menaikkan suku bunga acuan pada Mei dan Juni dengan total kenaikan 100 bps.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Stabilkan Rupiah, Ekonom Senior UI Usul BI Kombinasikan Kebijakan

Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Untuk atasi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperlukan bauran kebijakan. Jadi tidak cukup hanya menaikkan suku bunga acuan.

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro menyampaikan hal itu saat ditemui pada Selasa (18/9/2018).

"Jadi kalau dilihat dari efektifnya kalau seperti ini, perang dagang cara menghadapinya cadangan devisa dulu kemudian tingkat bunga digunakan untuk menaikkan ekpektasi bahwa BI ada di pasar. Dua-duanya harus dipakai," kata dia saat ditemui di Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (18/9/2018).

Oleh karena itu, kebijakan Bank Indonesia untuk menaikan suku bunga pun tidak akan cukup manjur untuk mengatasi depresiasi nilai tukar rupiah.

Dia menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini. Salah satunya adalah ancaman perang dagang yang mengganggu harapan pasar.

"Kalau tingkat bunga sendiri itu tidak efektif karena gangguannya itu sesuatu yang lain, sesuatu tidak berhubungan dengan tingkat bunga. Kalau di Amerika Serikat naik (suku bunga), dilawan dengan tingkat bunga, itu lawannya persis ya. Ini gangguan ekspektasi yang terjadi akibat Presiden Trump akan melakukan perang dagang yang baru," ujar dia.

"Ini harus ditunjukkan dengan rupiah kita masih bisa bertahan. Ada kebijakan lain yang mendukung. Itu membuat. 'Nanti dulu. Kita (investor) mau keluar dari Indonesia waktu kembali jangan rupiah menguat. Kalau begitu jangan semuanya ditarik'. Jadi mencoba mengatur ekpektasi supaya investor luar negeri tetap fokus bahwa Indonesia is the best," tambah dia.

Bank Indonesia (BI) pun perlu mengkombinasikan strategi menaikan suku bunga dengan berbagai kebijakan, seperti pengelolaan cadangan devisa dan intervensi pasar. Kombinasi kebijakan ini diharapkan dapat meyakinkan pelaku pasar perekonomian Indonesia masih kondusif.

"Memang ada negara lain yang lebih baik, tapi yang jelek juga lebih banyak. Kalau dijejerkan wah kita masih lumayan. Jadi kalau kembali ke pola rasional melihat portofolio, return-nya segala wah Indonesia kita masukan lagi,” ujar dia.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya