Liputan6.com, Jakarta Indonesia dipandang sebagai negara yang tepat sebagai tempat untuk menanamkan investasi. Sebab Indonesia memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Chairman Jebsen & Jessen (SEA) Heinrich Jessen mengatakan pihaknya siap memberikan dukungan terhadap agenda pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dia mengungkapkan, Indonesia sangat menarik sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia menempati urutan keempat di Asia setelah India, China dan Filipina.
Advertisement
"Indonesia telah menjadi pasar utama bagi Jebsen & Jessen (SEA) berkat pertumbuhan ekonomi yang baik. Kami berharap dapat terus ikut dalam perkembangan dengan berbagai tantangan yang ada di negara dengan perkembangan ekonomi terbesar di Indonesia," kata Heinrich di Jakarta, Selasa (25/9/2018).
Dia menyebutkan, pihaknya secara berkelanjutan ingin mengambil bagian dalam meningkatkan national competitiveness dengan menghadirkan produk dan solusi yang relevan.
Jebsen & Jessen (SEA) mendukung perusahaan-perusahaan dan industri di Indonesia agar dapat berkompetisi dengan kompetitor di regional. Dukungan tersebut diberikan melalui berbagai peralatan dan teknologi yang mutakhir.
Dia mengungkapkan, pada tahun 2020 Indonesia ditargetkan sebagai market atau pasar nomor pertama di kawasan Asia.
"3 tahun lalu kita memikirkan untuk berkembang di Indonesia dan sudah memiliki pilot project/strategi untuk tahun 2020. Kita harap pada 2020 Indonesia jadi market place terbesar kedua, dan setelahnya jadi pasar terbesar perseroan," dia menandaskan.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber : Merdeka.com
Rupiah Harus di Bawah 15.000 per Dolar AS Biar Iklim Investasi Cerah
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Seperti diketahui, pemerintah mentargetkan investasi kembali pada posisi 7 persen di 2019 setelah sempat turun menjadi hanya 5 persen.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM, Wisnu Wijaya Soedibjo menjelaskan, dua faktor utama tersebut adalah kondisi ekonomi global dan nilai tukar rupiah.
"Satu, secara makro, perekonomian dunia harus membaik juga, kedua faktor nilai tukar yang harus kurang lebihnya mestinya harus di bawah 15.000 per dolar AS," kata Wisnu saat ditemui di kantornya, Selasa (25/9/2018).
Baca Juga
Wisnu menjelaskan faktor nilai tukar rupiah sangat mempengaruhi sebab meski menguntungkan bagi sebagian pihak, yang dirugikan juga cukup banyak.
"Bayangkan saja dari 13.800Â per dolar AS ke 15.000 per dolar AS itu buat sebagian memang sebagian bidang usaha atau pengusaha diuntungkan, tapi sebagian juga dirugikan," ujarnya.
Meski rupiah terdepresiasi saat ini dinilai menguntungka bagi para eskportir namun jika kondisi ini berlangsung lama mereka akan terkena dampak negatif juga. Sebab, ada bahan baku yang masih harus diimpor.
"Cuma kalau lebih banyak kursnya terus meningkat terus lama-lama biarpun yang eksportir akan kena dampaknya juga karena kan eksportir juga sebagian entah itu 10 persen, 5 persen atau bahkan 90 persen bahan bakunya impor, tetap akan kena juga imbasnya. Jadi memang tidak boleh naik terlalu tinggi," terangnya.
Wisnu mencontohkan, sektor industri yang saat ini tengah menjerit di tengah pelemahan Rupiah adalah industri farmasi.
"Yang dirugikan ya industri yang banyak menggunakan bahan baku impor. Yang banyak bahan baku impor itu kan industri farmasi, rata-rata dia 80 sampai 90 persen bahan bakunya masih impor. Kemudian industri elektronika mungkin akan terkena dampak," ungkapnya.
Â
Advertisement