Implementasi B20, Beban Pertamina Ditaksir Capai Rp 4,8 Triliun

Risiko bisnis akan muncul jika Pertamina tidak diperbolehkan menaikkan harga BBM jenis solar yang telah dicampur biodiesel.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 26 Sep 2018, 10:15 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2018, 10:15 WIB
(Foto:Liputan6.com/Ilyas I)
Peluncuran penerapan Biodiesel 20 persen (Foto:Liputan6.com/Ilyas I)

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) saat ini tengah kesulitan dalam mendapatkan pasokan fame sebagai bahan dari B20. Padahal implementasi B20 itu sudah dituangkan melalui Perpres No 66 Tahun 2018.

Nampaknya kendala yang dialami pertamina tidak hanya itu. Diperkirakan, impelentasi B20 ini menjadi beban baru bagi perusahaan plat merah ini dalam menjalankan bisnis. Bagaimana bisa?

Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita mengatakan, implementasi program B20 memang berpotensi menghemat devisa impor sekitar US$ 1 miliar. Ini merupakan hal positif karena dapat membantu memperbaiki defisit neraca pembayaran Indonesia.

"Tetapi, di sisi yang lain, kebijakan tersebut juga berpotensi memberikan risiko bisnis bagi Pertamina yang perlu diantisipasi dan disikapi secara hati-hati oleh pemerintah," jelasnya kepada Liputan6.com, Rabu (26/9/2018).

Risiko bisnis akan muncul jika Pertamina tidak diperbolehkan menaikkan harga BBM jenis solar yang telah dicampur biodiesel atau biosolar pasca implementasi kebijakan ini.

Jika mengacu pada Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Nabati (Biofuel), dijelaskan Ronny, diketahui bahwa harga biodiesel lebih mahal dibandingkan dengan harga solar konvensional. Jika nilai tukar rupiah diasumsikan 14.500 per dolar AS, disebutkannya, harga biodiesel tercatat sekitar Rp 1.200 lebih mahal dibandingkan harga solar konvensional untuk setiap liternya.

"Mengacu pada hasil perhitungan tersebut harga biosolar paling tidak juga sekitar Rp 1.200 lebih mahal dibandingkan harga solar konvensional untuk setiap liternya. Harga dapat lebih tinggi lagi jika proses pencampuran untuk menjadikan biosolar memerlukan biaya tambahan," tambah Rony.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Proyeksi

Kementerian ESDM telah resmi memperluas penerapan kewajiban pencampuran Biodiesel 20 persen (B20) untuk Public Service Obligation (PSO) ataupun non-PSO, sejak 1 September 2018. (Maul/Liputan6.com)
Kementerian ESDM telah resmi memperluas penerapan kewajiban pencampuran Biodiesel 20 persen (B20) untuk Public Service Obligation (PSO) ataupun non-PSO, sejak 1 September 2018. (Maul/Liputan6.com)

Jika mengacu pada proyeksi BPH Migas bahwa konsumsi Solar tahun 2018 yang diperkirakan sebesar 25.425.000.000 liter, maka kebutuhan biodiesel yang perlu dicampurkan ke dalam BBM untuk memenuhi target mandatori 20 persen adalah sekitar 5.085.000.000 liter (20 persen x 25.425.000.000 liter).

Karena itu, lanjut Ronny, jika diasumsikan porsi Pertamina dalam penjualan Solar di dalam negeri sekitar 80 persen, maka biodiesel yang wajib diserap oleh Pertamina adalah sekitar 4.068.000.000 liter.

Mengingat harga biodiesel sekitar Rp 1.200 lebih mahal dibandingkan harga Solar konvensional untuk setiap liternya, berdasarkan volume yang wajib diserap tersebut Pertamina harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 4,88 triliun lebih tinggi dibandingkan biaya pengadaan Solar konvensional.

"Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan sudah hampir pasti Pertamina akan mengalami potensi kerugian dari bisnis niaga BBM jika pasca implementasi program B20 Pertamina tidak diizinkan menyesuaikan harga BBM jenis Solar," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya