Bappenas Paparkan Alasan Ekonomi RI Stagnan di 5 Persen

Staf Ahli Kementerian Perencanaan dan pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Bambang Priambodo, membeberkan penyebab kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih relatif stagnan.

oleh Merdeka.com diperbarui 12 Nov 2018, 13:52 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2018, 13:52 WIB
2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Pemerintah menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di angka 5 persen belum memadai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Depok - Staf Ahli Kementerian Perencanaan dan pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Bambang Priambodo, membeberkan penyebab kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih relatif stagnan.

Dia menuturkan, salah satu faktornya adalah tingkat produktivitas Indonesia yang masih tertinggal dari negara lain.  "Berdasarkan diagnosis kami, cerita utama di balik pertumbuhan ekonomi yang stagnan adalah kisah produktivitas," kata dia dalam Seminar Indonesia Economic Outlook, di Universitas Indonesia (UI), Depok, Senin (12/11/2018).

Bambang mengungkapkan, tingkat produktivitas Indonesia tidak tumbuh cepat dibandingkan negara-negara lain. Misalnya saja pada penggerak utama produktivitas pada transformasi struktural dari sisi ketenaga kerjaan di Indonesia.

"Lebih dari 30 persen tenaga kerja bekerja di sektor pertanian," imbuhnya. Di sisi lain, produktivitas dalam sektor industrialisasi juga masih belum menunjukan geliatnya terutama di sektor ekspor.

Meskipun pangsa industri manufaktur masih pada tingkat yang relatif tinggi, tetapi dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, pangsa industri manufaktur turun terlalu dini.

"Buruknya kinerja industri manufaktur memiliki dampak yang jelas terhadap kinerja perdagangan internasional. Jika kita melihat apa yang kita ekspor, setelah 40 tahun, ekspor kita masih didominasi oleh komoditas," kata dia. Padahal kata Bambang, sejak 1970-an, Malaysia dan Thailand juga mengandalkan komoditas dalam ekspor mereka. Namun sekarang bagian terbesar dari ekspor mereka adalah elektronik yang menunjukan perbaikan.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2018 sebesar 5,17 persen. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 sebesar 5,27 persen.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, harga komoditas nonmigas yang menurun.

"Harga komoditas nonmigas mengalami penurunan. Migasnya naik, nonmigas menurun. Misal terjadi penurunan untuk beberapa komoditas pertanian seperti daging sapi, minyak sawit, kopi, teh menurun baik qtq atau yoy," ujar Suhariyanto di Kantor BPS.

 

 

Pemerintah Harus Dorong Konsumsi Agar Pertumbuhan Ekonomi di Atas 5 Persen

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi dunia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 sebesar 5,17 persen. Pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, meski pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 mengalami penurunan, namun angka 5,17 persen dianggap dalam kondisi baik. Dengan demikian, hingga akhir tahun diharapkan pemerintah dapat melanjutkan tren posistif di atas lima persen.

"Pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2018 diapresiasi karena 5,17 persen. Kalau ini bisa dijaga, pertumbuhan di kuartal IV 2018 masih bisa di kisaran 5,1 persen lagi (bahkan lebih)," katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu 7 November 2018.

Untuk menjaga tren pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya pemerintah perlu menjaga beberapa sektor-sektor yang menjadi sentra produktif. "Yang harus diperhatikan adalah kontribusi utamanya masih sektor konsumsi rumah tangga," imbuhnya.

Selain itu, di kuartal IV 2018 ini pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi harga kebutuhan pokok menjelang Natal dan Tahun Baru. Sebab pada masa periode itu berpotensi akan mengganggu harga kebutuhan pokok.

"Potensi untuk terganggunya harga kebutuhan pokok itu ada. Pertama adalah gejolak harga beras karena produksi beras Oktober, November, Desember menurut BPS (Badan Pusat Statistik) prediksinya defisit artinya tidak terjadi panen raya dan pasokannya relatif menurun," kata Enny.

Oleh karenanya, untuk menyiasati hal tersebut maka pemerintah diminta untuk mengantisipasi melalui instrumen kebijakan dalam menstabilisasikan harga kebutuhan pokok sampai akhir tahun. "Sehingga ini yang harus diantisipasi ke depan bagaimana harga kebutuhan masyarakat tidak naik," katanya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya