Instrumen Baru BI Bikin Rupiah Menguat ke 14.739 per Dolar AS

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di ksiaran 14.739 per dolar AS hingga 14.782 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 14 Nov 2018, 11:23 WIB
Diterbitkan 14 Nov 2018, 11:23 WIB
Nilai tukar Rupiah
Petugas menunjukkan pecahan uang dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Nilai tukar Rupiah di pasar spot menguat tipis 0,06 persen ke Rp 14.926 per dollar Amerika. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali bergerak menguat pada perdagangan Rabu pekan ini.

Mengutip Bloomberg, Rabu (14/11/2018), rupiah dibuka di angka 14.782 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.805 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di ksiaran 14.739 per dolar AS hingga 14.782 per dolar AS. jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 8,80 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) rupiah dipatok di angka 14.755 per dolar AS. Patokan hari ini lebih kuat jika dibandingkan dengan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.895 per dolar AS.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah kembali mampu melanjutkan kenaikan terhadap dolar AS setelah sempat tertahan pada hari sebelumnya.

"Apresiasi rupiah itu seiring penilaian pasar yang positif terkait transaksi domestic non deliverable forward (DNDF)," katanya seperti dikutip dari Antara. DNDF merupakan instrumen moneter baru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Menurut dia, instrumen DNDF itu dinilai cukup efektif dalam menjaga fluktuasi nilai tukar rupiah di pasar valas domestik.

Di sisi lain, lanjut dia, upaya pemerintah untuk terus menggiatkan investasi ke dalam negeri, setelah adanya penurunan nilai investasi juga turut direspons positif pelaku pasar keuangan.

"Sejumlah industri akan mengalami relaksasi dan masuk dalam revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk mendorong investasi masuk," katanya.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan revisi DNI diharapkan dapat lebih membuat daya tarik investasi ke Indonesia.

Ia menambahkan upaya menarik investasi juga dilakukan dengan membangun infrastruktur yang cukup agresif terutama infrastruktur energi (listrik) dan system Online Single Submission (OSS).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rupiah Diprediksi Melemah ke 15.100 per Dolar AS di Akhir 2018

3 Alasan Kenapa Rabu Kemarin Rupiah Menguat
Ilustrasi dana BLT

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan kembali tersungkur hingga akhir tahun. Sentimen internal hingga eksternal berpotensi menggiring rupiah pada posisi 15.100 per dolar AS.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, rupiah akan menemukan titik barunya sampai akhir tahun ini. Rupiah diprediksi akan keluar dari asumsi pemerintah sebelumnya yakni dari posisi 15.000 per dolar AS menjadi 15.100 per dolar AS.

"Akhir tahun berpotensi menemukan titik baru di level 14.900-15.100. Masih sangat fluktuatif mencermati beberapa perkembangan global dan domestik," ucapnya kepada Liputan6.com, pada Senin 12 November 2018. 

Sementara itu, dari dalam negeri, lanjut dia, defisit transaksi berjalan atau current account deficit(CAD) RI yang menembus 3,37 persen pada kuartal III dinilai melebihi dari ekspektasi pasar, sehingga mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah. Pelebaran CAD itu membuat permintaan dolar sampai akhir tahun terus meningkat, khususnya untuk membiayai impor di industri minyak dan gas (migas).

"Kondisi ekspor pun belum mampu tumbuh optimal terkendala oleh proteksi dagang CPO yang dilakukan India. Harga komoditas baik CPO maupun karet sampai akhir 2018 akan slowdown," jelas Bhima.

Meski demikian, menurutnya, efek pelebaran CAD tak hanya menimpa Indonesia semata. Beberapa negara emerging market lainnya seperti Argentina dan Turki turut merasakan dampak buruk pelebaran CAD di negara masing-masing.

"Jadi artinya memang secara umum kinerja fundamental ekonomi beberapa negara berkembang sedang kurang sehat. Ini diperkuat oleh laporan Moodys Investor Services pada 8 November lalu bahwa Turki dan Argentina akan menghadapi kontraksi yang dalam," ungkapnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya