Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar atau kurs rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa waktu terakhir terus menguat. Namun, pemerintah diingatkan untuk tetap berhati-hati.
Peneliti Center on Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah memprediksi jika nilai tukar (kurs) mata uang Garuda bisa kembali melemah akibat kencangnya aliran modal asing yang masuk ke dalam negeri.
Advertisement
Baca Juga
"Namun demikian, penguatan rupiah rentan dan sewaktu-waktu bisa kembali melemah. Aliran modal asing dalam bentuk portofolio atau lebih sering disebut sebagai hot money sangat rentan terhadap isu global dan domestik," ujar dia kepada Liputan6.com.
Dia menambahkan, rupiah dapat kembali terjungkal jika terjadi pembalikan secara tiba-tiba (sudden revearsal). "Pembalikan secara tiba-tiba bisa terjadi sewaktu-waktu dan bila itu terjadi rupiah akan kembali terpuruk," sebut dia.
Sebagai langkah antisipatif agar nilai tukar rupiah bisa terus terjaga, dia menegaskan, pemerintah dinilainya perlu membatasi jumlah surat Utang Luar Negeri (ULN) di dalam pasar modal Indonesia.
"Kita harus perbaiki struktur pembiayaan di neraca pembayaran. Dominasi ULN dan kepemilikan asing di surat-surat berharga di pasar uang dan pasar modal harus dikurangi. Setidaknya harus berani melakukan capital flows management," imbuh dia.
Piter Abdullah memprediksi, nilai tukar rupiah bisa tetap bertahan di angka 14.300 per dolar AS lantaran adanya berbagai faktor, seperti isu Bank Sentral AS The Fed yang akan menunda kenaikan suku bunga acuan pada Desember 2018 nanti.
"Kita ketahui bahwa seiring meningkatnya intensitas perang dagang AS vs China, pertumbuhan ekonomi AS justru mengalami perlambatan. Perlambatan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan akan direspons oleh The Fed dengan menunda kenaikan suku bunga," ungkap dia.
Dia menambahkan, perkiraan tersebut semakin diperkuat dengan adanya sinyal dari Gubernur The Fed dalam waktu dekat ini, untuk tidak menaikkan suku bunga acuan para Desember mendatang.
"Perlambatan pertumbuhan AS ditambah penundaan suku bunga The Fed membuat para investor global mulai mengalihkan dana investasinya ke negara-negara yang dianggap memiliki prospek keuntungan terbesar ke depan," sambungnya.
Dengan adanya isu tersebut ditambah harga minyak dunia yang kini sedang menurun, ia melanjutkan, momentum ini bisa jadi kesempatan bagi rupiah untuk melanjutkan penguatannya. Sehingga, kurs mata uang Garuda bisa terjaga di kisaran 14.300-14.500 pada akhir 2018 sampai awal 2019.
"The Fed memberikan sinyal tidak akan menaikkan suku bunga. Ini kesempatan rupiah untuk mempertahankan penguatannya. Juga ada momentum penurunan harga minyak," ucap dia.
"Saya kira, rupiah di akhir tahun dan awal 2019 nanti bisa dipertahankan di kisaran 14.300 sampai dengan 14.500," pungkas dia.
Darmin Sebut Rupiah Mampu Menguat ke 13.000 per USD, Ini Syaratnya
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat sampai ke level 13.000-an per USD. Dengan syarat, gonjang-ganjing ekonomi dunia mereda.
"Kita masih punya ruang untuk penguatan rupiah. Masih bisa tembus ke arah 13.000, punya, kita masih punya ruang itu. Dengan catatan enggak ada kejadian aneh-aneh lagi," ujar Menko Darmin di Kantornya, Jakarta, Jumat (30/11/2018).
Baca Juga
Darmin mengatakan, saat ini masih berlangsung pertemuan G20. Di mana, forum ini sangat penting dalam meredakan perseteruan panas antara Amerika Serikat dan China. Jika nanti belum ditemukan jalan keluar, maka potensi fluktuasi mata uang di seluruh dunia masih terus berlangsung.
"Hari ini G20 mulai. Kalau Trump enggak ketemu Xi Jinping atau ketemu tapi tidak ada kesepakatan untuk meredakan perang dagang, ya pasti ada tekanan lagi. Walaupun dengan keadaan sekarang, kita mungkin tertekannya tidak seperti di awal-awal lagi," jelas dia.
Dia menambahkan, dengan adanya arus modal masuk ke Indonesia, seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Hal ini agar dapat menekan laju defisit transaksi berjalan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.
"Jadi, ya tinggal kita sebenarnya menggunakan momentum ini untuk memperkuat. Kalau rupiah menguat kemudian modal mulai masuk, sudah masuk sebenarnya, atau lebih besar lagi masuknya sehingga transaksi modal dan finansial bisa mengimbangi defisit transaksi berjalan," jelasnya.
Â
Advertisement