Liputan6.com, Jakarta Kinerja perdagangan Indonesia sepanjang 2018 dinilai masih tumbuh positif dan memiliki potensi besar ke depannya meski mencatat defisit. Sejumlah misi dagang dan perjanjian dagang yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dinilai cukup sukses mendongkrak kinerja ekspor non migas dan menahan defisit perdagangan lebih besar.
“Perjanjian-perjanjian dagang itu kan meminimalkan ketidakpastian pasar. Walaupun memang untungnya tidak banyak, tetapi lebih terjamin pembelinya,” ungkap Guru Besar Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda, seperti dikutip Selasa (15/1/2019).
Baca Juga
Perjanjian dagang dan misi dagang yang lumayan banyak dilakukan pada tahun 2018, menumbuhkan harapan akan lebih terjaminnya tingkat ekspor beberapa komoditas andalan Indonesia ke depan.
Advertisement
“Memang tidak semua. Tapi yang penting-penting setidaknya. Kayak perjanjian dagang itu kan ibarat kayak mereka mau beli punya kita, kita juga beli punya mereka. Lebih pasti,” dia menambahkan.
Di sepanjang tahun lalu, tercatat sebanyak 8 perjanjian dagang telah teratifikasi. Menyusul dua perjanjian yang tengah dalam proses ratifikasi, yaitu Indonesia-Chile CEPA dan ASEAN-Hong Kong FTA and Investment Agreement.
Kemendag juga diketahui telah melakukan penandatanganan 4 perjanjian dagang kawasan. Yakni 10th ASEAN Framework Agreement on Services, First Protocol to Amend ATIGA, ASEAN Agreement on Electronic Commerce, dan Indonesia-EFTA CEP Berbagai perjanjian dagang ini diperkirakan meningkatkan ekspor hingga US$1,9 miliar.
Pada tahun lalu, Kemendag sudah melakukan misi dagang di 13 negara, yang sebagian besar adalah pasar nontradisional. Dalam misi tersebut, transaksi yang dihasilkan mencapai USD 14,79 miliar. Jumlah ini tumbuh 310 persen dibandingkan transaksi misi dagang 2017 sebesar USD 3,6 miliar.
Hanya saja memang, menurut Candra, perjanjian maupun misi dagang tak bisa secara langsung secara instan menguatkan neraca perdagangan nusantara. Pasalnya beberapa harga komoditi dunia yang menjadi dagangan utama Indonesia, seperti minyak sawit dan batu bara, mengalami penurunan harga.
Di sisi lain, lanjutnya, konsumsi migas Indonesia yang kian membesar dan tidak diimbangi dengan produksi membuat defisit neraca perdagangan pada tahun kemarin membengkak. Tercatat di sepanjang Januari—November 2018 saja, total defisit perdagangan dari sektor migas mencapai USD 12,15 miliar.
Besarnya defisit ini disebabkan meningkatkan impor migas pada periode yang sama. Perlu diketahui, sampai November kemarin total nilai impor migas Indonesia mencapai USD 27,81 miliar, naik USD 6,06 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Jadi kalau dilihat memang migasnya ini ya. Nonmigas sudah cukup bagus, cuma memang masih perlu peningkatan,” tutur dia.
Neraca perdagangan nonmigas sendiri sebenarnya masih mencatatkan surplus. Setidaknya dari Januari—November 2018, neraca perdagangan sektor ini positif USD 4,64 miliar. Ekspor non migas secara total tercatat sebesar USD 150,15 miliar di 2018, naik 7,46 persen dibanding 2017 yang tercatat sebesar USD 139,72 miliar.
Tantangan ke Depan
Senada, Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, sejauh ini sektor migaslah yang menjadi penyebab neraca perdagangan Indonesia terpuruk di sepanjang 2018 kemarin.
Tinggginya defisit ini disebabkan menurunnya ekspor migas dan naiknya impor migas. Sebaliknya, nonmigas masih membukukan neraca positif.
“Masih ada surplus di untuk neraca perdagangan nonmigas pada 2018. Jadi, memang di bagian migas kita yang parah. Ekspor turun, ditambah impor migas kita naik. Tapi kalau dibandingkan di 2017 surplus untuk nonmigas pasti lebih besar,” .
Menurutnya, terdapat dua faktor yang menyebabkan tekanan pada ekspor nonmigas pada 2018. Pertama, penurunan harga komoditas unggulan baik batu bara, crude palm oil (CPO), maupun karet. Sementara, 70 persen ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas berbasis sumber daya alam.
Di sisi lain, negara tujuan utama ekspor Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi China yang sebesar 6,9% pada 2017 diprediksi turun menjadi 6,7 persen di 2018.
Sementara itu, di sisi impor, ekonomi Indonesia tengah mengalami ekspansi, sehingga memerlukan impor yang lebih besar. Salah satunya, berbagai barang yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur.
“Infrastruktur mau jadi, MRT kereta harus masuk ke sini kan, LRT masuk ke sini. Jadi sebagian besar impor kita memang mengalami kenaikan karena ada kebutuhan infrastruktur,” imbuhnya.
Ke depan, ekspor nasional diprediksi masih mengalami tantangan yang sama. Pasalnya, perlambatan ekonomi China masih terus terjadi. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan mencapai 6,5 persen.
“Kita tak bisa menekan China untuk membeli dari kita kalau ekonominya lagi melambat. Apalagi di 2019 ini China diprediksi melambat sampai 6,5 persen,” pungkas Lana.
Advertisement