Langkah Kementan Cetak Sawah di Lahan Rawa Mendapat Apresiasi dari KTNA

Fokus cetak sawah di Lahan Rawa, Kementan diapresiasi KTNA.

oleh Cahyu diperbarui 12 Feb 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 12 Feb 2019, 06:00 WIB
Garap Lahan Rawa, Kementan Proyeksikan Kalsel Jadi Lumbung Pangan di Luar Jawa
Fokus cetak sawah di Lahan Rawa, Kementan diapresiasi KTNA.

Liputan6.com, Jakarta Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menilai langkah Kementerian Pertanian (Kementan) mencetak sawah dari lahan rawa adalah keputusan bijak. Sebab, mempertimbangkan siklus musim panas kedepan akan lebih panjang dan lahan rawa lebih tahan banting.

Ketua KTNA, Winarno Tohir, mengatakan bahwa lokasi rawa menjadi pilihan yang bagus karena selain memiliki luas lahan yang besar, tapi juga dapat mengantisipasi kemarau panjang yang kabarnya akan menerpa untuk siklus waktu panjang.

Dalam laporan BMKG nasional dan internasional yang ia terima, tahun ini sudah masuk musim El-Nino atau siklus kemarau yang lebih panjang daripada musim hujan. Kondisi ini akan terjadi hingga periode 5-10 tahun kedepan, sehingga lahan rawa yang memiliki nilai tingkat serap tinggi bakal memiliki cadangan air yang dalam.

"Akan makin pas kalau di lahan rawa karena mereka itu bahkan hingga kelebihan air. Sedangkan di lahan biasa itu nanti akan membutuhkan infrastruktur air sekunder tersier maupun saluran kecil lainnya," ucap Winarno.

Namun, dia mengakui produktivitas sawah dari rawa belum menyaingi yang konvensional. Untuk satu petak sawah dari rawa menghasilkan 3 ton per ha, sedangkan dari sawah lahan bisa mencapai 6 ton per ha.

"Maka harus ada varietas khusus yang bisa untuk area rawa. Sementara sudah ada varietas lokal walau belum ada yang khusus untuk rawa," kata Winarno.

Kementan tahun ini menargetkan akan melakukan konversi lahan rawa menjadi sawah sebanyak 500.000 hektare. Selain itu, ada juga perluasan lahan sawah eksisting sebesar 6.000 ha.

Direktur Jenderal Prasarana Dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, menjelaskan bahwa agenda kerja ini akan dilakukan dengan total anggaran sebesar Rp 4,9 triliun.

"Ini sekaligus untuk pengadaan alsintan, pengembangan embung, dan irigasi-irigasi lainnya," ujarnya.

Optimalisasi lahan rawa menjadi sawah ini, lanjut Sarwo, akan difokuskan di Kalimantan Selatan seluas 300.000 hektare, Sumatera Selatan 200.000 hektare, dan sebagian kecil di Jambi. Sementara itu, perluasan areal sawah akan dilakukan di Riau, Sumatera, dan Sulawesi.

"Area rawa menjadi lokasi pengembangan lahan sawah terkini karena memiliki potensi yang besar," ucapnya.

Dalam catatan Kementan, luas rawa di Indonesia mencapai 33,4 juta hektare yang terdiri dari lahan pasang surut seluas 23,05 juta hektare dan rawa lebak seluas 10,35 juta hektare.

Kementan juga telah menyiapkan teknologi khusus untuk mengatasi sejumlah tantangan menangani lahan rawa. Mulai dari manajemen pengairan, teknologi olah lahan, hingga penyiapan varietas padi unggul untuk rawa.

Lahan rawa sebenarnya punya kesuburan yang cukup baik, tetapi ada beberapa permasalahan yang perlu diatasi. Misalnya, kondisi biofisik lahan, seperti keasaman tanah dan kandungan besi tinggi serta cekaman air seperti kekeringan dan genangan.

"Kondisi inilah yang harus ditangani agar produktivitas tanaman di lahan rawa lebih optimal dan produktif," kata Sarwo.

Kementan pun menyiapkan varietas Inbrida padi rawa (Inpara) yang merupakan varietas padi adaptif lahan rawa. Ada sembilan varietas yang sudah dilepas, yaitu Inpara 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Varietas Inpara dirakit dengan memiliki keunggulan toleran terhadap keracunan besi (Inpara 1, 2, 3, 6, 7, 8 dan 9) dan toleran rendaman (varietas Inpara 4 dan Inpara 5).

Sementara itu, varietas toleran rendaman yang dikembangkan dari gen Sub-1 memiliki kemampuan recovery dengan cepat setelah mendapat cekaman genangan. Potensi hasil 5,0-7,6 ton per ha dengan potensi hasil rata-rata di atas 5 ton/ha.

"Beberapa padi juga punya hasil yang khusus, seperti Inpara 2 dan 7 yang punya bentuk tekstur nasi pulen, sementara Inpara 1, 3, 4, 8, dan 9 teksturnya pera, lalu tekstur sedang untuk Inpara 5, dan 6 dengan umur panen 114-135 hari," ujar Sarwo.

Varietas Inpara 2 memiliki adaptasi yang baik di LRPS maupun LRL. Varietas ini cukup berkembang dan diminati petani di Kalimantan Selatan, Tengah, dan Bengkulu dengan hasil 3-5,0 ton/ha. Varietas Inpara 3 memiliki adaptasi luas dapat ditanam pada beberapa agroekosistem, baik di lahan LRPS, lebak, irigasi semi teknis, serta tadah hujan di Kalimantan Selatan, Tengah, dan Barat. Daya hasil Inpara 3 relatif stabil antara 3,0-4,0 ton/ha.

"Adaptasi kedua varietas tersebut cukup baik di lahan rawa, sehingga pada daerah dimana varietas Ciherang kurang adaptif, kedua varietas tersebut masih dapat berproduksi dengan baik," pungkasnya.

 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya