Usai BI Tahan Bunga Acuan, Rupiah Melemah Tipis

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.070 per dolar AS hingga 14.085 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 22 Feb 2019, 11:35 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2019, 11:35 WIB
Rupiah Menguat Tipis atas Dolar
Pekerja bank menghitung uang dollar AS di Jakarta, Jumat (20/10). Pagi ini, Rupiah dibuka di Rp 13.509 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 13.515 per USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Jumat ini. rupiah kemungkinan melemah ke level 14.080 per dolar AS hingga 14.100 per dolar AS.

Mengutip Bloomberg, Jumat (22/1/2019), rupiah dibuka di angka 14.077 per dolar AS, melemah tipis jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.070 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.070 per dolar AS hingga 14.085 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih menguat 2,17 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.079 per dolar AS, melemah tipis jika dibandingkan dengan sehari sebelummnya yang ada di angka 14.057 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah pada Jumat melemah seiring ditahannya suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) oleh Bank Indonesia.

"BI telah menaikkan kebijakan suku bunganya sejak Mei 2018 lalu mencapai 175 basis poin dari 4,25 persen menjadi 6 persen. Kendati demikian kenaikan tersebut belum direspons oleh perbankan dengan menaikkan suku bunga kreditnya secara signifikan," kata ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih dikutip dari Antara.

Untuk suku bunga kredit modal kerja, lanjut Lana, naik tipis 0,08 persen sejak Mei hingga Desember 2018, bahkan untuk suku bunga kredit konsumsi turun 0,67 persen, dan suku bunga investasi turun 0,19 persen.

"Turunnya suku bunga ini indikasi fokus perbankan yang cenderung memperbesar kredit konsumsi," katanya.

Dengan kondisi tersebut, kemungkinan BI bisa mempertahankan suku bunganya di 6 persen hingga akhir 2019.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Kamis (21/2) lalu kememutuskan suku bunga acuan 7DRR tetap di level 6 persen. Begitupun untuk suku bunga Deposit Facility tetap 5,25 persen dan suku bunga Lending Facility tetap 6,75 persen.

BI menyatakan keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan upaya penguatan stabilitas eksternal khususnya untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik.

Lana memperkirakan pada hari ini rupiah kemungkinan melemah ke level 14.080 per dolar AS hingga 14.100 per dolar AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Faisal Basri: Rupiah Masih akan Bergejolak di Tahun Politik

IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa kestabilan nilai tukar rupiah masih akan menghadapi tantangan di tahun politik. Bahkan rupiah dinilai masih mengalami pelemahan di 2019 ini.

Faisal mengatakan, meski di awal tahun waktu rupiah sempat menguat ke level 13.000 per dolar AS, tetapi saat ini rupiah kembali ke 14.000 per dolar AS.

"Rupiah tidak menguat secara signifikan, masih akan naik turun. Secara psikologis dan historis rupiah masih akan melemah," ujar dia pada Rabu 13 Februari 2019. 

Tekanan terhadap rupiah masih bersumber dari defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk menurunkan CAD agar rupiah bisa menguat dan stabil di 2019.

"Karena masih CAD, kalau current account ini defisit ya rupiah melemah. Karena CAD ini terdiri dari ekspor impor barang dan jasa. Nah kalau utang tidak setiap bulan. Jadi (penguatan) rupiah yang mengandalkan utang tidak akan sustainable. Tapi kalau mengandalkan CAD bisa sustain," kata dia.

Selain itu, meski ekspor dan impor merupakan kegiatan yang wajar dilakukan oleh sebuah negara, namun Indonesia harus bisa menekan impor khususnya untuk barang-barang yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri dan menggenjot ekspor nonmigas.

"Ekspor-impor sebetulnya suatu hal yang lumrah dilakukan oleh suatu negara. Kalau kita tidak bisa bikin suatu produk, ya terpaksa impor. Tapi kita juga harus jual produk kita ke pasar negara lain. Ini supaya seimbang," tandas dia.

 
 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya