Pemberdayaan Nelayan Kamoro dan Pesisir Mimika buat Genjot Industri Perikanan Papua

Saat ini, rata-rata tangkapan puluhan nelayan yang berasal dari suku Kamoro ini ada di kisaran 1-4 ton ikan per bulan.

oleh Nurmayanti diperbarui 22 Feb 2019, 15:45 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2019, 15:45 WIB
Industri perikanan di Papua. Dok Freeport
Industri perikanan di Papua. Dok Freeport

Liputan6.com, Jakarta Indonesia dinilai memiliki potensi sumber daya laut dan perairan yang besar, terutama perikanan seperti di Papua. Pemanfaatan hasil laut patut didorong, karena ini menjadi salah satu sumber pangan kaya protein yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

Ini dikatakan Manajer Community Economic Development PT Freeport Indonesia, Yohanes Bewahan. Perusahaan tambang ini memberdayakan nelayan suku Kamoro dan nelayan dari suku lain di pesisir kabupaten Mimika, dalam memanfaatkan hasil laut.

Ini tertuang dalam program community development Freeport Indonesia, yang dalam pelaksanaannya berkolaborasi dengan Koperasi Maria Bintang Laut (KMBL) yang bernaung di bawah Keuskupan Mimika dan Dinas Perikanan Kabupaten Mimika.

“Potensi perikanan di pesisir Kabupaten Mimika cukup tinggi, namun belum termanfaatkan secara penuh akibat kendala akses transportasi dan pasar, sarana produksi, dan rendahnya kapasitas tangkap. Inilah salah satu alasan kami dalam melalukan program pendampingan terhadap para nelayan yang ada di pesisir pantai Kabupaten Mimika,” ujar dia dalam keterangannya, Jumat (22/2/2019).

Dia menuturkan jika kolaborasi dalam pemberdayaan nelayan dan penguatan industri perikanan di Kabupaten Mimika secara terstruktur dimulai pada 2005. Sejumlah program yang dilaksanakan mencakup perikanan tangkap serta perikanan budidaya.

Menurut Yohanes, setelah beberapa tahun melakukan pendampingan dan kolaborasi dengan beberapa mitra, hasil tangkapan serta hasil budidaya para nelayan telah meningkat. Hal itu merujuk pada hasil rata-rata tangkapan puluhan nelayan yang berasal dari suku Kamoro ini ada di kisaran 1-4 ton ikan per bulan.

Namun dia berharap dukungan untuk pengembangan sektor perikanan ini harus dilakukan secara menyeluruh.

Salah satu nelayan yang mengikuti program pembinaan Daniel Bipuaro menceritakan bahwa pendampingan yang dilakukan sangat bermanfaat. Selain kemampuan dalam mencari ikan, para nelayan mendapatkan pengetahuan lain mengenai cara mengolah ikan hasil tangkapan agar nilainya meningkat.

“Kami tidak hanya dibantu untuk menangkap lebih banyak ikan, tapi kami juga diajari untuk mengolah hasil tangkapan agar bisa dijual di pasar dan harganya tinggi. Selain itu kami juga dilatih untuk mengelola keuangan keluarga agar kami tidak kesulitan,” tutur Daniel yang juga merupakan kepala kampung Ohotya di Mimika.

Sektor Perikanan Turut Kena Imbas Kenaikan Tarif Kargo Udara

Pasar Ikan Modern Muara Baru Mulai Ditempati Pedagang
Pedagang menyortir ikan di Pasar Ikan Modern (PIM) Muara Baru, Jakarta, Kamis (21/2). Pedagang mulai menempati PIM Muara Baru sejak 16 Februari 2019. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Kenaikan tarif kargo udara turut berdampak pada sektor perikanan. Pasalnya, distribusi untuk mengangkut hasil perikanan, khususnya di wilayah sentra perikanan cukup banyak mengandalkan jalur udara.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP‎, Rifky Effendi Hardijanto mengatakan, ‎jasa logistik, khususnya melalui udara, sejatinya bertujuan untuk mengatasi kendala jarak, merajut kesatuan wilayah dan meningkatkan nilai tambah suatu produk. Logistik juga memainkan peran yang penting dalam bisnis perikanan.

Menurut dia, saat ini penggunaan jasa logistik untuk produk perikanan dari beberapa titik produksi melalui transportasi udara mencapai lebih kurang 50 persen dari total ikan yang didistribusikan.

"Transportasi udara dinilai sangat efektif dalam kerangka logistik karena mempersingkat waktu dan jarak," ujar dia di Jakarta, Rabu (13/2/2019).

Namun berdasarkan data dan informasi dari pihak penyedia angkutan udara, lanjut Effendi, diketahui jika tingkat kenaikan biaya transportasi udara 2019 dibandingkan dengan 2018 rata-rata mencapai 183 persen.

Terdapat beberapa indikator yang menyebabkan maskapai penerbangan menaikkan tarif biaya cargo. Mulai dari kenaikan biaya avtur sebesar 40 persen dan pelemahan kurs rupiah hingga 14 persen.

"Kenaikan biaya ini berdampak pada kegiatan pelaku usaha perikanan sampai pada tahap penghentian usaha atau ekspor hasil perikanan karena harga jual dengan produk perikanan tidak kompetitif dengan biaya logistik yang lebih dari 20 persen," kata dia.‎

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya