Pemerintah Perlu Tambah Anggaran Riset Jadi 2 Persen dari PDB

Jika dibandingkan negara lain, anggaran riset Indonesia memang masih relatif kecil, hanya sebesar 0,03 persen dari PDB.

oleh Septian Deny diperbarui 01 Mar 2019, 10:26 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2019, 10:26 WIB
Peneliti Laboratorium
Ilustrasi Riset. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Anggaran riset dan pengembangan (research and development/R&D) yang dialokasikan Indonesia dinilai kalah jauh jika dibandingkan negara lain. Hal ini harus jadi perhatian pemerintah jika ingin mengembangkan ekonomi digital di dalam negeri.

Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, jika dibandingkan negara lain, anggaran riset Indonesia memang masih relatif kecil, hanya sebesar 0,03 persen dari PDB.

Untuk mengejar ketertinggalan, pemerintah harus meningkatkan anggaran riset dan pengembangan sebesar 2 persen dari PDB.

“Di Indonesia penggunaan dana riset masih terfragmentasi. Tersebar lintas kementerian dan dampaknya kecil terhadap perekonomian. Solusinya adalah integrasi belanja penelitian di lintas sektoral pemerintah di bawah lembaga dana abadi penelitian atau LPDP,” ujar dia di Jakarta, Jumat (1/3/2019).

Sejak 2012, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tak hanya mengelola dana beasiswa pendidikan S2 sampai S3, tapi jauh dari itu juga mengalokasikan dana untuk riset inovatif produktif (RISPRO). Total dana yang dikelola LPDP mencapai Rp 55 triliun.

“Itu dana abadi, artinya pokok dana tidak berkurang dan yang dipakai hanya imbal hasil/bunga investasi,” ungkap dia.

Bhima menambahkan angka Rp 55 triliun masih perlu ditambah untuk kejar ketertinggalan riset dan pengembangan dengan negara lain. LPDP membutuhkan anggaran setidaknya Rp 296 triliun untuk meningkatkan anggaran riset dan pengembangan hingga dua persen.

“Dikurangi angka yang ada saat ini maka total tambahan anggaran LPDP idealnya Rp 241 triliun," kata dia.

 

Peringkat Universitas Turun

Ilustrasi penelitian
Ilustrasi (Sumber: Pixabay)

Sementara itu, Guru Besar International Islamic University Malaysia (IIUM) Erry Yulian Adesta menyatakan, anggaran riset dan pengembangan yang masih rendah ini menjadi salah satu penyebab melorotnya peringkat universitas-universitas di Indonesia.

Berdasarkan Lembaga Pemeringkatan Universitas Dunia, Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking 2018, tiga universitas ternama di Indonesia masuk 500 terbaik di dunia yaitu Universitas Indonesia (UI) di posisi 292, Institut Teknologi Bandung (ITB) di peringkat 359 dan Universitas Gadjah Mada (UGM) berada di 391.

Namun, posisi dua universitas melorot dibanding tahun lalu. Pada 2017, UI menduduki peringkat 277 dunia, ITB berada di 331. Sementara, UGM malah mengalami kinerja positif dari posisi 410 di tahun sebelumnya.

"Dana yang dialokasikan itu harus mampu dikelola dengan prinsip dan luaran yang jelas dan terukur serta memiliki dampak. Bukan sekedar ritual melakukan riset sekedar mengisi Beban Kerja Dosen (BKD) seperti yang terjadi saat ini. Riset ada ekosistemnya yang saling bergantung satu sama lain. Dana riset yang kita miliki sudahlah terbatas penggunaannya pun serampangan tidak jelas inginnya apa,” ucap dia.

Jika di Malaysia, lanjut Erry, penggunaan dana riset dan pengembangan ini bisa dipantau melalui aplikasi, MyGrants. Sehingga, penggunaan dananya bisa efektif dan efisien.

“Malaysia punya instrumen yang jelas dan terukur. Hampir tidak ada yang abu-abu sehingga anggaran riset bisa efektif dan juga efisien,” tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya