Pemerintah Disarankan Bedakan Aturan Rokok Elektrik dengan Konvensional

Berdasarkan riset Atlas Tobacco, pada 2016 jumlah perokok di Indonesia mencapai hampir 55 juta orang.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Mar 2019, 14:47 WIB
Diterbitkan 08 Mar 2019, 14:47 WIB
20160308-Ilustrasi-Tembakau-iStockphoto1
Ilustrasi Tembakau (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah disarankan untuk memisahkan aturan mengenai rokok elektrik serta produk tembakau alternatif lainnya dengan produk rokok konvensional. Saat ini, produk tembakau alternatif masih masuk dalam kategori hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dan diperlakukan sama dengan produk rokok konvensional dengan tarif cukai hingga 57 persen.

Mengacu pada berbagai penelitian ilmiah yang menyimpulkan risiko lebih rendah, tarif cukai produk tembakau alternatif seharusnya lebih kecil dibandingkan rokok konvensional.

Pemerintah maupun akademisi di Indonesia dinilai perlu untuk menelaah kembali melalui penelitian lebih lanjut mengenai produk tembakau alternatif sehingga kebijakan yang disusun dapat lebih komprehensif dan tepat.

"Pemerintah perlu menyusun kerangka kebijakan yang tepat dan sesuai terkait pengaturan produk tembakau alternatif," kata Visiting Professor Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore, Tikki Pangestu, seperti dikutip Jumat (8/3/2019).

Keberadaan produk tembakau alternatif diharapkan bisa menjadi salah satu solusi menekan tingginya tingkat konsumsi (prevalensi) merokok masyarakat dewasa di Indonesia. Hal ini telah terbukti di sejumlah negara lain yang sebelumnya mengalami situasi sama dengan Indonesia.

Tikki Pangestu menjelaskan, produk tembakau alternatif merupakan salah satu cara penting mengatasi masalah perokok di Indonesia. "Terutama untuk prevalensi yang sangat tinggi di antara pria Indonesia," tegas Tikki.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan jumlah perokok berusia di atas 15 tahun mencapai 33,8 persen dari total penduduk dewasa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 62,9 persen merupakan perokok laki-laki dan 4,8 persen perokok perempuan.

Berdasarkan riset Atlas Tobacco, pada 2016 jumlah perokok di Indonesia mencapai hampir 55 juta orang dan berada dalam tren meningkat. Jumlah ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India.

Tikki menjelaskan sudah banyak penelitian ilmiah yang kuat mengenai produk tembakau alternatif. Salah satu yang terbaru adalah hasil penelitian pakar kesehatan dari berbagai universitas di London, Inggris yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine pada 30 Januari 2019.

Reporter: Idris Rusadi P

Sumber: Merdeka.com

 

Imas Krwati, menunjukan deretan kebun tembakau Gunung Putri
Imas Krwati, menunjukan deretan kebun tembakau Gunung Putri (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Penelitian berjudul 'A Randomized Trial of E-Cigarettes versus Nicotine-Replacement Therapy' ini menemukan bahwa penggunaan rokok elektrik hampir dua kali lebih efektif dari penggunaan pengganti nikotin, seperti permen karet, untuk membantu perokok berhenti merokok.

Uji coba terhadap 886 perokok menemukan bahwa 18 persen perokok yang menggunakan rokok elektrik bertahan untuk berhenti merokok selama satu tahun dibandingkan dengan 9,9 persen mereka yang memakai terapi pengganti nikotin.

Menurut Tikki, secara umum setidaknya terdapat dua hal yang menjadi kesimpulan berbagai penelitian ilmiah mengenai produk tembakau alternatif. Pertama, produk tembakau alternatif 95 persen lebih rendah risiko dibandingkan rokok yang dibakar terkait jumlah bahan beracun yang terdeteksi. Kedua, produk tembakau alternatif dapat membantu perokok berhenti merokok.

"Keengganan para profesional kesehatan menerima kenyataan ini adalah suatu fenomena yang mengkhawatirkan dan tidak jelas sebabnya," tegas mantan Director Research Policy and Cooperation Department WHO ini.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya