Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pertumbuhan industri jasa keuangan berbasis Financial Technology atau teknologi keuangan (Fintech) masih belum sepadan dengan risiko yang dihadapi. Salah satunya terkait masih tingginya rasio kredit macet.
Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK, Yohanes Santoso Wibowo menyebutkan, rasio kredit tidak lancar atau Non Performing Loan (NPL) perusahaan fintech untuk rentang waktu 30-90 hari, dan 3,18 persen untuk kredit macet di atas 90 hari.
Baca Juga
"Tapi harus waspada, non perform yang macet juga sudah pada angka 3,18 persen, dan yang kurang lancar 3,17 persen," kata dia di Menara Radius Prawiro Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Advertisement
"Jadi kalau kita paralalelkan jumlah keduanya mencapai 6,35 persen. Risikonya kalau kita lihat lebih tinggi dibanding dengan perbankan," dia menambahkan.
Dia berharap, para pelaku industri fintech bisa mencapai angka NPL normal dengan metode pendekatan teknologi yang digunakan di masa mendatang.
"Kalau teknologi sudah bagus mestinya bisa lebih cepat. Kembali lagi mereka yang akan bentuk dari asosiasi Fintech," pungkas dia.
Namun, ia mengapresiasi penyaluran pinjaman atau outstanding perusahaan fintech nasional meningkat pesat pada Februari 2019.
"Fintech tumbuh sangat pesat. Data akhir Februari, total pinjaman outstanding sekitar Rp 7 triliun. Tumbuhnya sekitar 600 persen. Memang tinggi sekali," ungkap diaÂ
Adapun menurut catatan OJK, penyaluran outstanding fintech pada Februari 2019 mencapai Rp 7,05 triliun atau tumbuh 605 persen secara tahunan atau Year on Year (YoY).
OJK: Industri Jasa Layanan Keuangan Tumbuh Positif
OJK melaporkan berbagai pertumbuhan positif lembaga jasa layanan keuangan pada Februari 2019. Antara lain, meningkatnya penyaluran kredit perbankan, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) hingga total aset likuiditas perbankan.
Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Yohannes Santoso Wibowo menjelaskan, kinerja intermediasi per Februari kemarin meneruskan tren perbaikan. Ini ditandai dengan adanya kelanjutan tren peningkatan yang tumbuh sebesar 12,13 persen secara Year on Year (YoY) serta piutang pembiayaan Perusahaan Pembiayaan yang meningkat 4,16 persen YoY.
"Pertumbuhan pembiayaan ini didorong oleh tingginya pertumbuhan pembiayaan untuk kegiatan investasi, sehingga memberikan harapan peningkatan aktivitas ekonomi ke depan," ujar dia di Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Dia melanjutkan, sisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) juga tercatat mengalami pertumbuhan 6,57 persen (YoY) pada Februari lalu. Lebih tinggi dari pertumbuhan bula sebelumnya yang sebesar 6,4 persen.
Perbaikan kinerja intermediasi tersebut disertai dengan terjaganya rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross perbankan sebesar 2,59 persen dan NPL net 1,17 persen. Sementara rasio Non Performing Financing (NPF) perusahaan pembiayaan stabil pada level 2,70 persen.
Risiko pasar perbankan juga berada pada level yang rendah, dengan rasio Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan sebesar 1,92 persen dibawah ambang batas ketentuan.
Pertumbuhan intermediasi juga didukung likuiditas perbankan yang memadai, tercermin dari Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 218,45 persen dan non core deposito sebesar 107,25 persen.
Jumlah total aset likuid perbankan mencapai Rp 1.162 triliun pada akhir Februari 2019. Angka ini dinilai berada pada level yang memadai untuk mendukung pertumbuhan kredit ke depan.
Yohanes menyebutkan, pertumbuhan industri jasa keuangan juga didukung oleh permodalan yang kuat. Itu ditunjukan dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang sebesar 23,86 persen. "Risk Based Capital Industri asuransi umum dan asuransi jiwa masing-masing sebesar 316 persen dan 442 persen, jauh diatas ambang batas ketentuan," tandasnya.
Advertisement