IMF: Pelambatan Ekonomi China Bisa Jadi Ancaman

IMF menyebut pelambatan ekonomi China bisa menjadi risiko ekonomi global.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 13 Apr 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2019, 10:00 WIB
Polusi Udara di Beijing
Sejumlah warga mengenakan masker wajah berjalan menyusuri jalan pada hari yang tercemar polusi di Beijing, China (2/4). (AFP Photo/Fred Dufour)

Liputan6.com, Washington D.C. - IMF memberi peringatan akan bahaya pelambatan ekonomi China terhadap pertumbuhan global. Ketidakpastian ekonomi China menjadi sumber keresahan.

Dilaporkan Reuters, Deputi Direktur Pelaksana IMF Mitsuhiro Furusawa berkata sejauh ini pelambatan ekonomi China masih di taraf moderat, dan negara itu memiliki kesiapan untuk mendukung pertumbuhan.

Hanya saja, Furusawa menyebut jika pelambatan ekonomi China lebih parah dari yang diperkirakan, itu akan membahayakan ekonomi dunia. Kegagalan penyelesaian perang dagang China-Amerika Serikat (AS) pun bisa memperparah pertumbuhan.

"Salah satunya adalah gesekan dagang, yang memberatkan tak hanya volume dagang tetapi investasi. Jika ekonomi China lebih lambat dari yang diperkirakan, itu juga risiko bagi ekonomi global," ujar Furusawa.

Sejauh ini, penyelesaian perang dagang antara China dan AS juga sedang terus berjalan. Februari lalu, Presiden Donald Trump memperpanjang "gencatan senjata" antara kedua negara karena negosiasi berhasil berjalan.

Friksi perdagangan dan pelambatan ekonomi China juga akan menjadi bahasan pemimpin finansial G20 ketika mereka bertemu minggu ini di sela pertemuan IMF.

Sebagai informasi IMF sedang melakukan pertemuan musim semi mereka di Washington, D.C. Acara ini berlangsung pada 8 - 14 April 2019 dan melibatkan Bank Dunia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Jangan Andalkan Stimulus

Kabut Asap Tebal Selimuti Kota Beijing
Petugas membersihkan jalanan saat diselimuti kabut asap tebal di Beijing, China (14/11). Pihak berwenang mengeluarkan peringatan kuning untuk polusi udara buruk pada hari Rabu. (AP Photo/Andy Wong)

IMF menyebut pertumbuhan China akan melambat sampai 6,3 persen pada 2019. Pada 2018, pertumbuhan sudah melambat menjadi 6,6 persen dari  2017, yakni 6,9 persen.

Furusawa berkata China tidak boleh lupa untuk melaksanakan reformasi struktural demi mengatasi masalah seperti kapasitas berlebih dan naiknya utang, walaupun mereka sedang memicu pertumbuhan dengan stimulus jangka pendek.

Menurut Furusawa, sebuah negara seharusnya tidak mengandalkan stimulus jangka pendek dan harus fokus pada reformasi struktural.

"Itu adalah poin krusial dan otoritas China juga memahami ini. Ini tidak diharapkan untuk China, atau negara manapun, untuk terlalu lama mengandalkan penerapan stimulus. Kamu perlu reformasi struktural untuk memperkuat fundamental ekonomi," ujar dia.

BI: Indonesia Bakal Terdampak Pelemahan Ekonomi China

Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). Selain itu BI juga meminta masyarakat agar menukarkan uang yang sudah tidak layar edar. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) juga sudah mengantisipasi dampak pelambatan ekonomi China ke Indonesia. 

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China bisa dibilang sudah mereda jika melihat negosiasi antara Presiden Donald Trump dan Xi Jinping. Prospek moneter Indonesia juga diproyeksi makin baik tahun ini. Namun, masalah baru datang dari ekonomi China yang sedang loyo.

Indonesia pun bisa kena dampak, pasalnya harga komoditas yang terpengaruh oleh kondisi ekonomi China. Sementara, pertumbuhan ekonomi China melemah dari 6,9 persen di tahun 2017 menjadi ke 6,6 persen tahun lalu, serta diproyeksikan terus melemah hingga tahun 2021.

"Prospek Indonesia ke depan pada 2019, jika melihat kebijakan moneter, harapannya kita akan memiliki prospek yang lebih baik dibandingkan pada 2013 dan 2018, tetapi kita masih memiliki tantangan pada ekonomi China yang akan memberi dampak ke harga komoditas," ujar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara pada acara Maybank Economic Outlook 2019, Senin, 11 Maret 2019, di Jakarta.

BI pun menekankan pentingnya diversifikasi dalam perekonomian Indonesia agar tidak terlalu bergantung pada komoditas. Solusi yang ditekankan BI adalah memperkuat sektor turisme.

Thailand bisa menjadi contoh. Negara itu berhasil menggenjot sektor pariwisata atau turisme hingga lebih dari 34 juta orang dan membantu neraca berjalan negara itu menjadi surplus, sementara Indonesia mengalami defisit sekitar 3 persen di tahun 2018.

"Jika ada defisit, kita butuh inflow. Itu dengan ekspor dan turisme. Saya percaya diri dengan turisme Indonesia," ucap Mirza seraya berkata Indonesia berhasil menambah jumlah turis dan tahun lalu kedatangan 14 juta orang turis.

Pihak BI pun meminta korporasi untuk berusaha melakukan ekspor demi membantu mengurangi defisit neraca berjalan sampai 2,5 persen di 2019. "Jadi para korporat, tolongkah ekspor. Please, please," ujar dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya