Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) sudah tidak mengimpor avtur dan solar, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini merupakan hasil dari optimalisasi pengoperasian kilang.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina sudah sejak April 2019 tidak mengimpor avtur. Kebutuhan avtur dalam negeri sudah dapat dipenuhi kilang Cilacap.
"Mulai April kita sudah nggak lagi impor avtur, selama ini setiap tahun rata-rata antara 8-10 juta impor, dengan kita optimalkan kilang," kata Nicke, saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/5/2019).
Advertisement
Nicke melanjutkan, selain sudah tidak mengimpor avtur Pertamina juga sudah tidak mengimpor solar sejak Mei 2019. Hal ini merupakan dampak dari pelaksanaan program campuran 20 persen biodiesel dengan solar (B20) dan mengoptimalkan pengoperasian kilang Plaju.
"Solar mulai Mei kita juga sudah nggak perlu lagi impor, selama ini impor berkisar 12-15 juta barel, nah jadi ini kita per Mei," tuturnya.
Menurut Nicke, secara bertahap Pertamina akan mengurangi impor produk BBM, dengan mengoptimalkan masing-masing kilang dalam memproduksi produk BBM. Saat ini Pertamina sedang melaksanakan program peremajaan kilang dan pembangunan kilang baru.
"Bertahap nanti kita coba optimalkan volume maupun jenis produk untuk masing-masing kilang mana yang kemudian kita bisa mandiri sehingga nanti nggak perlu impor. kita coba amankan yang demandnya cukup tinggi," tandasnya.
Menko Darmin: Indonesia Setop Impor Avtur dan Solar Mulai Bulan Depan
Pemerintah memastikan akan mulai menekan impor minyak dan gas (migas) dengan menggunakan migas olahan dalam negeri guna memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan.
"Mulai bulan depan, migas terutama avtur dan solar, kita tidak akan impor. Kita mau pakai produk kita di dalam dan diolah di sini," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dikutip dari Antara, Jumat (10/5/2019).
Baca Juga
Darmin mengakui salah satu penyebab tingginya defisit neraca transaksi berjalan pada Kuartal I 2019 sebesar 2,6 persen terhadap PDB adalah impor migas. Oleh karena itu, lanjut dia, penggunaan migas produksi dalam negeri ini akan mampu mengurangi baik ekspor maupun impor migas dalam waktu dekat.
"Pertamina sepertinya sudah bisa mengolah crude oil menjadi avtur dan solar sesuai kebutuhan dalam negeri dari segi jumlah maupun kualitas," katanya.
Ia menambahkan upaya ini dilakukan sejalan dengan kebijakan lain untuk meningkatkan ekspor nonmigas yang selama ini belum sepenuhnya membantu penguatan neraca perdagangan.
"Ini akan menolong transaksi berjalan, di samping upaya-upaya mendorong ekspor. Jadi oke memburuk sedikit triwulan I, tapi triwulan berikutnya tidak," ujar Darmin.
Advertisement
Impor Avtur Turun di 2018
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi penurunan impor avtur pada 2018. Pada tahun lalu, impor bahan bakar pesawat terbang tersebut sebesar 1,22 juta ton.
Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono mengatakan, secara volume, impor avtur pada 2018 memang mengalami penurunan dibandingkan 2017. Jika pada 2018, impor avtur tercatat sebesar 1,22 juta ton, sedangkan pada 2017 sebesar 1,54 juta ton.
Meski turun, lanjut dia, secara nilai justru mengalami kenaikan. Pada 2017, nilai impor avtur sebesar USD 825,3 juta, sedangkan di 2018 meski volumenya turun namun nilai impornya sebesar USD 861,1 juta.
Baca Juga
"Tren secara volume turun, tapi nilainya naik. Ini pengaruh dari harga minyak mentah dunia," ujar dia di Kantor BPS, Jumat (15/2/2019).
Pada 2018, impor avtur terbesar terjadi pada Juni yaitu sebesar 135 ribu ton. Sedangkan impor terendah terjadi pada Oktober yaitu sebesar 71 ribu ton.
"Ini tidak berkorelasi dengan pariwisata. Karena di tahun lalu juga pariwisatanya naik. Mungkin ada suatu kebijakan (yang menyebabkan impor avtur turun di 2018), tapi kita (BPS) tidak tahu. Mungkin bisa dikonfirmasi ke teman-teman di Pertamina," tandas dia.
Adapun tren impor avtur dalam 10 tahun terakhir yaitu pada 2008 sebanyak 145,8 ton, 2009 sebanyak 21 ribu ton, 2010 sebanyak 223 ribu ton, 2011 sebanyak 984 ton, 2012 sebanyak 1 ton, 2013 sebanyak 2,1 ton, 2014 sebanyak 4,2 ton, 2015 sebanyak 201 ribu ton, 2016 sebanyak 888 ribu ton, 2017 sebanyak 1,54 juta ton dan 2018 sebanyak 1,22 juta ton.