Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang pemerintah per April 2019 mencapai sebesar Rp 4.528 triliun. Angka ini naik apabila dibandingkan posisi utang pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 4.180 triliun.
"Posisi utang kita per April sebesar Rp 4.528 triliun," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman, di Kantornya, Jakarta, Kamis (16/5).
Luky mengatakan apabila dibandingkan dengan posisi utang pada bulan Maret 2019 posisi rasio utang ini mengalami penurunan sebesar 30,12 persen. "Sementara Maret kemarin utang kita Rp 4.567. Outstanding utang turun Rp 38,8 triliun dibandingkan Maret tahun ini satu bulan turun Rp 38 triliun," katanya.
Advertisement
Baca Juga
Adapun komposisi utang pemerintah terdiri dari pinjaman sebesar Rp 780,71 triliun. Di mana itu terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 773,98 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 6,73 triliun.
Sementara, berasal dari surat berharga negara mencapai Rp 3.747,74 triliun. Adapun jumlah tersebut terdiri dari denominasi Rupiah sebesar Rp 2.735,78 dan demominasi dalam bentuk valuta asing mencapai Rp 1.011,96 triliun.
"Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29,65 persen atau masih dalam batas aman," pungkasnya
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RI Kembali Mewaspadai Perang Dagang AS-China
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati kembali mewaspadai dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Dia mengatakan, kondisi perang dagang ini akan terus berjalan dan tidak akan reda dalam jangka pendek, sehingga dikahawatirkan akan berdampak lagi ke Indonesia.
"Karena pola konfrontasinya sangat head to head kalau bisa dikatakan, karena untuk dua negara besar ini yang mencoba secara diplomatis men-towndown itu menjadi lebih sulit, artinya ketegangan ini akan mewarnai cukup panjang," kata dia saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
"Artinya sekarang ini ekonomi dalam tekanan global yang sangat serius melalui ketidakpastian, kita harus terus melihat aspek domestik kita dan ini harus terus menjadi kewaspadaaan bagi kita," sambung dia.
Sri Mulyani mengatakan, pengaruh dari perang dagang ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia sendiri akan tetapi berimpas kepada negara-negara di dunia.
"Jelas trade akan slowing down sangat siginifikan. Kemarin saja pertumbuhan 4 persen global trade sudah dianggap sangat rendah," bebernya.
Dengan kondisi itu, akan mempengaruhi pada negara Indonesia yang masih bergantung pada neraca perdagangan eskpor.
"Ini berarti kita tidak mungkin andalkan ekspor sebagai enginee of growth. Tapi positifnya ada banyak barang-barang yang tadinya untuk topang industri kita menjadi tersedia," pungkasnya.
Seperti diketahui, perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) kembali memanas setelah Presiden AS, Donald Trump mengancam untuk meningkatkan lebih dari dua kali lipat tingkat tarif menjadi 25 persen pada USD 200 miliar barang-barang China.
Advertisement
Sri Mulyani: Institusi Apabila Tidak Berinovasi akan Punah
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan perkembangan teknologi era revolusi industri 4.0 sudah seharusnya berlangsung di seluruh instansi pemerintah. Sebab apabila institusi tidak melakukan perubahan dan masuk ke dalam industri 4.0 maka akan berdampak pada kemunduran suatu bangsa.
"Karena memang suatu negara, bangsa kita semua liat langsung betapa dunia ini berubah sangat cepat apakah itu makhluk, institusi, apabila tidak lakukan inovasi akan punah. Oleh karena itu kalau tidak mau punah maka harus berubah," jelas dia saat menjadi pembicara One Hour University di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (15/4/2019).
Sri Mulyani mengatakan akselerasi perubahan di dunia saat ini begitu dirasakan semenjak revolusi industri 2.0. Di mana pada masa itu menjadi lompatan besar dalam perkembangan teknologi dan kebudayaan di masyarakat. "Perubahan sejak revolusi 2.0 itu menyebabkan perubahan yang cepat pada dunia ini," imbuh dia.
Seiring dengan perkembangan teknologi digital maka perubahan yang terjadi pada revolusi industri 4.0 ini harus dimanfaatkan betul. Sebab dengan ini Indonesia akan keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) menjadi negara dengan pendapatan tinggi.
"Industri 4.0 ini di mana muncul teknologi digital dan internet menjadi peluang besar negara keluar menjadi middle income trap, dan revolusi 4.0 itu memungkinkan banyak negara emerginguntuk catch up," pungkasnya.