Liputan6.com, Jakarta - Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin berhasil keluar menjadi pemenang Pilpres 2019 berdasarkan hasil perhitungan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Mei, kemarin.
Kemenangan Jokowi sebagai petahana lantas mengingatkan beberapa pelaku pasar akan janjinya pada 2014 lalu, yang mau meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara hingga ke level 7 persen. Lalu, mampukah Jokowi mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hingga kini masih tertahan di angka 5 persen?
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, menaikan pertumbuhan ekonomi dari 5 persen ke 7 persen merupakan pekerjaan rumah yang berat.
Advertisement
Baca Juga
"5 persen ke 7 persen itu butuh waktu dan budget besar. Itu yang harus diusahakan dikoreksi," ungkap dia kepada Liputan6.com, Rabu (22/5/2019).
"Yang jadi concern itu CAD (Current Account Deficit) dan trade balance yang defisit. Itu yang harus diusahakan dikoreksi," dia menambahkan.
Berkaca pada geliat ekonomi dalam negeri saat ini, ia menilai, target pertumbuhan ekonomi 7 persen merupakan sesuatu yang sulit untuk digapai "Ke 7 persen, saya rasa tidak bisa dengan yang berjalan sekarang. Harus ada perubahan," imbuh dia.
Dia pun turut menyoroti aksi penolakan kubu Paslon 02 terhadap hasil rekapitulasi KPU. Menurutnya, demonstrasi besar-besaran tersebut bukan faktor utama yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar.
"Demo sebenarnya tidak bermasalah. Yang akan jadi masalah itu rusuh nya. Jadi pasar akan menunggu perkembangan demo ini," pungkas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
JK Pesan Kabinet Jokowi-Ma'ruf Harus Perkuat Ekonomi
Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK meminta kabinet yang akan dipimpin Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih fokus dalam persoalan ekonomi. Ekonomi harus terus ditingkatkan karena berhubungan dengam kemakmuran serta kesejahteraan masyarakat.
"Ekonomi, itu masalah pokok menjadi bagian dari harapan masyarakat. Karena ekonomi berhubungan dengan kemakmuran, kesejahteraan, dalam kondisi perang dagang dengn china-amerika, eropa tentu banyak tantangan-tanyangannya dan itu harus dilalui," kata JK di Kantornya, Jalan Merdeka Utara, Selasa (21/5/2019).
Dia menjelaskan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf nanti harus menekankan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sebab saat ini Indonesia sedang mengalami kondisi ekonomi yang lesu.
"Penekanannya prinsip dasar ekonomi tumbuh, investasi dan ekspor seperti itu dan kemudian inflasi yang rendah dah ekspor naik. Ini pekerjaan berat, bukan mudah. Tapi semua negara mengalaminya," ungkap JK.
KPU telah menyelesaikan rekapitulasi suara di 34 provinsi. Hasilnya pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menjadi pemenang Pilpres 2019.
Jumlah suara sah tercatat 154.257.601. Sementara tidak sah 3.754.905.
"Pasangan nomor urut satu Joko Widodo dan Ma'ruf Amin 85.607.362 atau 55,50 persen dari total suara sah nasional. Pasangan nomor urut dua, 68.650.239 atau 44,50 persen dari total suara sah nasional," ujar Komisioner KPU, Evi Novita Ginting, Jakarta, Selasa (21/5/2019) dini hari.
Advertisement
Ada Aksi 22 Mei, Rupiah Berpotensi Melemah Dalam
Aksi massa 22 Mei diperkirakan akan membuat nilai tukar rupiahterhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi atau melemah dalam. Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira.
Bhima menyebutkan, rupiah akan kembali mengalami koreksi. Seperti diketahui, dalam beberapa hari terakhir, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan yang cukup besar.
"Rupiah diperkirakan kembali alami koreksi ke 14.500 per dolar AS hingga 14.600 per dolar AS paska 22 Mei," kata dia saat dihubungi Merdeka.com, Selasa (21/5/2019).
Menurutnya, ada beberapa hal mendasar yang membedakan kondisi pasca pemilu di tahun ini dengan pemilu pada 2014 silam.
"Kondisi saat ini berbeda dari 2014 dimana optimisme pelaku pasar pasca pemilu cukup tinggi. Ada harapan pemerintah di bawah Jokowi bisa mendorong ekonomi hingga tumbuh 7 persen," ujarnya.
Akan tetapi, menurutnya saat ini investor tidak cukup optimistis jika dibandingkan dengan lima tahun lalu sehingga Jokowi Effect tidak lagi terjadi pada pemilu tahun ini.
Hal ini disebabkan tidak tercapainya angka pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sejak awal pemerintahan yaitu pada angka 7 persen.
"Tapi sekarang ekspektasinya tidak setinggi itu karena melihat tren 5 tahun terakhir ekonomi hanya mampu tumbuh 5 persen. Jokowi effect berkurang di mata investor," tutup dia.
Defisit RAPBN 2020 Ditargetkan 1,75 Persen
Defisit dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020 ditargetkan bisa terjaga di kisaran angka 1,75 persen hingga 1,52 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal itu diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI.
"Sebagai tahun pembuka periode pemerintahan baru, kebijakan makro fiskal dalam tahun 2020 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal ekspansif yang terarah dan terukur," kata dia, di Ruang Rapat Paripurna Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (20/5/2019).
Selain itu, keseimbangan primer ditargetkan bisa positif. Sementara rasio utang bisa dijaga di kisaran 30 persen terhadap PDB.
"Defisit dan rasio utang akan tetap dikendalikan dalam batas aman sekaligus mendorong keseimbangan primer yang positif," ujarnya.
Dia memastikan pemerintah akan selalu membuat defisit selalu terukur dan menjaga sumber-sumber pembiayaan secara aman, hati-hati dan berkelanjutan (sustainable). Selain itu, pembiayaan yang kreatif dalam RAPBN 2020 akan dilaksanakan secara hati-hati (prudent).
"Kebijakan pembiayaan juga akan terus dilakukan dengan memberdayakan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU) dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur," ujarnya.
Pemerintah akan terus mendorong peran swasta dalam pembiayaan pembangunan melalui kerangka Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
"Termasuk mendorong penerbitan instrumen pembiayaan kreatif lainnya," tutupnya.
Advertisement