Menkeu: RI Waspadai Risiko Ekonomi Global yang Semakin Nyata

Sri Mulyani menyatakan jika ketegangan antar negara anggota G20 masih terasa, khususnya antara AS dan China.

oleh Nurmayanti diperbarui 11 Jun 2019, 13:03 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2019, 13:03 WIB
(Foto: Merdeka.com/Wilfridus S)
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan Indonesia harus semakin mewaspadai gejolak ekonomi global. Hal ini akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung usai.

Dalam pertemuan antar menteri keuangan negara-negara G20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu kemarin, Sri Mulyani menyatakan jika ketegangan antar negara anggota G20 masih terasa, khususnya antara AS dan China.

‎"Kemarin pertemuan G20 di Fukuoka Jepang, harapannya dengan pertemuan ini sebelum pertemuan tingkat leaders di Osaka pada akhir bulan ini diharapkan akan ada jembatan antara Amerika, China dan negara-negara lain. Tapi kalau kita lihat suasananya memang masih terasa bahwa posisi belum berubah. Dalam artian ketegangan internasional dari sisi retorika maupun action-nya masih sama. Bahkan ada kecenderungan lebih bold," ujar dia di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (11/5/2019).

Menurut Sri Mulyani, selama ini China ingin agar masalah perang dagang ini dilakukan secara multilateral sesuai dengan kerangka yang telah ada. Namun, AS lebih berharap masalah tersebut diselesaikan secara bilateral.

‎"Kemudian harapan-harapan di antara kedua belah pihak untuk saling adanya temuan dari sisi pemikiran policy-nya masih cukup jauh. China masih menganggap mereka melakukan apa yang telah diminta selama ini, tetapi dari AS menganggap itu belum cukup. Sehingga kita melihat dalam keseluruhan G20 ini risiko global itu terealisir (nyata)," ungkap dia.

Akibat ketegangan yang terjadi ini, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diperkirakan akan mengalami perlambatan. Hal tersebut seperti apa yang telah diproyeksikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

"Makanya IMF, OECD, World Bank, mengatakan dengan adanya risiko down site risk yang terealisir ini proyeksi output tahun ini menurun. Kalau di IMF 3,3 persen, sudah 0,5 persen lebih rendah dari original projection 2019. World Bank juga sama," kata dia.

 

Perhatian Khusus

Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara bagi Indonesia, hal ini juga harus menjadi perhatian khusus. Sebab, perang dagang dan ketegangan yang terjadi ini akan menekan perdagangan global yang akan berdampak kepada Indonesia.

"Yang harus kita waspadai juga adalah volume perdagangan internasional juga akan mengalami pelemahan, bahkan ini melemah terendah sejak krisis ekonomi 2008 yaitu hanya tumbuh 2,6 persen," jelas dia.

Selama ini, kata dia, ekonomi dunia tumbuh cukup sehat, di mana mana pertumbuhan perdagangan internasional dua kali lebih tinggi dari pertumbuhan dunia.

"Jadi kalau pertumbuhan dunia itu 3,3 persen, perdagangan bisa 5-6 persen, sekarang hanya tumbuh 2,6 persen. Artinya untuk Indonesia, kita akan melihat jika tantangan dari growth global yang melemah menjadi sangat nyata," tandas dia.

Perang Dagang Bikin Pertumbuhan Ekspor Global Anjlok

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Iskandar Simorangkir mengatakan, dampak perang dagang mengakibatkan pertumbuhan ekspor negara-negara di dunia ikut menurun.

Kendati begitu, pasca melunaknya tensi dagang antara Amerika Serikat (AS) terhadap dua mitra dagangnya yakni Kanada dan Meksiko diharapkan dapat menurunkan panasnya tensi perang dagang yang tinggi kedepanya terhadap China.

"Terkait global ekspor itu semua mengalami penurunan akibat (perang dagang). Untuk growth ekspor sendiri tampaknya baru Vietnam dan India saja yang masih belum turun," ujar dia di Gedung Kemenko, Senin (10/6/2019).

Dia melanjutkan, kelanjutan perang dagang AS-China ke depan akan ditentukan dari hasil pertumbuhan ekonomi AS kuartal II 2019.

"Kepastiannya itu setelah pertumbuhan triwulan kedua, kalau hasilnya pertumbuhan ekonomi AS menurun, itu pasti nggak akan berlangsung lama ketegangan AS-China. Tapi kalau turun, saya termasuk yakin nggak mungkin AS ngotot terus menerus perang dagang tensi tinggi seperti sekarang ini," kata dia.

Sementara itu, untuk Indonesia, pihaknya menilai pemerintah sebaiknya mengurangi impor terlebih dahulu untuk produk-produk berpengaruh langsung. Produk itu ialah barang belanja modal yang bisa diproduksi di dalam negeri.

"Karena impor kita kontraksinya lebih besar dari ekspor akibat perang dagang ini maka salah satu caranya ialah mengerem dulu impor yang tidak berpengaruh langsung dan bisa diproduksi dalam negeri," kata dia.

"Berpengaruh langsung itu misalnya barang-barang belanja modal, kalau mesin-mesin bagus tuh untuk investasi, ya jangan di rem. Bisa mengenerate lapangan pekerjaan, output baru dalam ekonomi," ia menambahkan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya