Pengamat: Tekan Harga Tiket Perlu Pertimbangkan Keselamatan Penerbangan

Pengamat menilai, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan harga avtur pengaruhi harga tiket pesawat.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Jun 2019, 15:47 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2019, 15:47 WIB
Ilustrasi tiket pesawat
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menjadi bulan-bulanan masyarakat saat tiket pesawat melonjak sejak akhir tahun lalu.

Kemenhub dianggap gagal menghadirkan transportasi udara yang nyaman bagi masyasrakat dari segi tarif. Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan, masalah tarif pesawat bukan merupakan ranah kewenangan Kemenhub

"Kemenhub tupoksinya mengatur di keselamatan, bukan di tarif. Di tarif hanya mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah, tidak boleh mengatur sub classes," kata dia dalam sebuah acara diskusi, di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (15/6/2019).

Dia menuturkan, tarif pesawat ada hitungan dan rumus tersendiri. Jadi tarif yang ada saat ini merupakan angka yang pas serta tidak melanggar aturan tarif batas atas yang ditentukan oleh regulator.

"Artinya, ekonomi harus dibenerin dulu. Kalau dulu angkutan udara murah karena kebanyakan gunakan diskon. Makanya dulu everybody can fly  tapi sekarang not everybody can fly. Mereka manusianya akan menyesuaikan," ujarnya.

Dia menjelaskan, tarif pesawat saat ini mengikuti kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Sebab hampir sebagian besar pengeluaran maskapai dalam bentuk dolar AS, sementara pendapatannya dari penjualan tiket dalam bentuk rupiah.

Sehingga, lanjutnya, jika ingin tarif pesawat kembali normal, tidak mau harus menguatkan kembali kurs rupiah. 

"Kalau untuk saat ini ya itulah tarif yang ada kita ada ekonomi equilibirum. Kalau kapan mau turun, paling gampang itu tadi, kurs nya ya turun atau harga avtur ditekan lagi," ujar dia.

Dia juga menyebutkan pemerintah jangan menekan maskapai untuk menekan harga tiket pesawat. Sebab jika harga tiket turun, dikhawatirkan maskapai akan memangkas biaya operasional lain yang sangat penting bagi penumpang.

"Jangan dipaksa, karena kalau dipaksa terus semua aspek dipaksa. Nanti keselamatan nya bagaimana? Karena harga tadi sudah termasuk perhitungan untuk check semua, pilot dilatih dan lain-lain. Jadi menurut saya ini saat-nya semua biaya transportasi menyesuaikan dan semua moda transportasi bergerak. Kalau tidak mampu beli (tiket) pesawat maka naik bus, kereta," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Pengamat Bantah Tiket Pesawat Mahal Jadi Penyebab Industri Pariwisata Lesu

Ilustrasi tiket pesawat
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Sebelumnya, mahalnya tiket pesawat dituding sebagai dalang lesunya sektor pariwisata di tanah air.

Jumlah wisatawan dan okupansi atau tingkat hunian hotel menurun dianggap sebagai dampak mahalnya tarif transportasi udara yang membuat masyarakat enggan bepergian.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai menurunnya kinerja sektor pariwisata tidak sepenuhnya salah maskapai yang menaikkan harga tiketnya. Ada hal lain yang juga turut mendorong anjloknya jumlah wisatawan dan okupansi hotel.

"Hotel mengeluh, turis mengeluh. Itu karena tidak bisa mengurusnya. Kita sudah 5.0, mereka masih 1.0. Kenapa pariwisata kurang? Ya itu karena Menteri Pariwisata tidak bisa mengurus sektor pariwisata. Jangan salahkan airline," kata dia dalam sebuah acara diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 15 Juni 2019.

Dia menyebutkan, saat ini kemajuan teknologi kian pesat. Hotel atau penginapan harus mengikutinya sebab masyarakat zaman sekarang lebih senang memesan hotel dengan cara praktis melalui aplikasi online travel agent (OTA).

Menurut dia, pengelola hotel masoh banyak yang ketinggalan zaman. Di saat mayoritas turis memesan hotel dan penginapan melalui OTA, mereka  masih menjalankan bisnisnya secara manual.

Sementara hotel  itu jumlahnya semakin banyak. Selain itu, dia mengungkapkan masih banyak infrastruktur penunjang pariwisata yang belum menunjang sehingga harus dilakukan perbaikan. Misalnya jalan untuk masuk menuju lokasi wisata.

 

 

Faktor Rupiah dan Avtur

Tarif Batas Atas Tiket Pesawat
Pesawat milik sejumlah maskapai terparkir di areal Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (16/5/2019). Pemerintah akhirnya menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat atau angkutan udara sebesar 12-16 persen yang berlaku mulai Kamis hari ini. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam kesempatan serupa, Pengamat Penerbangan, Chappy Hakim mengatakan, lesunya industri pariwisata saat ini memang berkaitan dengan mahalnya tiket pesawat. Namun, andilnya tidak besar.

"Ada hubungannya tapi tidak bisa dikatakan hubungannya menjadi gara-gara turunnya jumlah penumpang bikin inflasi naik dan hotel turun," ujar dia.

Jika pariwisata menurun, disarankan agar mencari strategi lain untuk menggaet wisatawan. Kenaikan tarif tiket pesawat tidak dapat dihindari karena baik avtur maupun biaya operasi lainnya yang juga terus naik sehingga maskapai harus menyesuaikan harga tiket agar tetap bisa beroperasi.

"Dilihat lagi tiket mahal itu karena dia berhadapan dengan harga avtur naik yang relatif bersamaan dengan kurs dolar AS yang naik. Bukan semata karena turunnya jumlah penumpang yang gunakan pesawat," ujar dia.

Kedua hal tersebut membuat maskapai mau tidak mau menaikkan tarif tiketnya agar tidak bangkrut.

Oleh karena itu, seharusnya turis bisa menyesuaikan diri dengan menggunakan moda transportasi lain yang tarifnya lebih terjangkau.

"Karena pesawat mahal tapi mahalnya buat bayar kecepatan, kalau ke bandung pakai jalur darat membutuhkan waktu 6 jam untuk sampai, kalau pesawat jadi setengah jam," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya