Aprindo: Penutupan Gerai Hal yang Biasa di Industri Ritel

Penutupan gerai sebagai satu satu strategi pelaku usaha ritel untuk mempertanahkan keberlangsungan perusahaannya.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Jun 2019, 17:45 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2019, 17:45 WIB
Ritel Modern Giant. Merdeka.com/Dwi A
Ritel Modern Giant. Merdeka.com/Dwi A

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan, penutupan gerai seperti yang dilakukan oleh Giant merupakan hal yang biasa dalam bisnis ritel. Hal ini dinilai sebagai satu satu strategi pelaku usaha ritel untuk mempertanahkan keberlangsungan perusahaannya.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, buka dan tutupnya gerai mungkin terjadi hampir setiap hari. Ini bergantung dari strategi dan kemampuan pelaku usaha untuk mempertahankan eksistensinya di tengah persaingan industri ritel yang semakin ketat.

"Buka tutup toko itu hal yang biasa. Kalau kita bicara buka tutup toko, hampir setiap hari itu ada yang tutup. Cuma kan yang buka itu kadang tidak diberitakan secara besar," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (24/6/2019).

Namun demikian, lanjut Tutum, sejauh ini perbandingan antara yang membuka gerai dengan yang menurut gerai, lebih banyak yang melakukan pembukaan gerai baru.

"Pasti (ada yang buka dan tutup gerai). Tetapi persentase yang antara yang tutup dengan yang buka, lebih banyak yang buka. Karena buka tutup itu bisa karena merelokasi di lokasi-lokasi yang tidak menjanjikan. Dia mendapatkan lokasi yang baru. Tapi kalau yang buka toko kan kadang tidak diberitakan," kata dia.

Tutum juga menegaskan keputusan pelaku usaha ritel untuk menutup gerai pasti telah dipertimbangkan secara matang. Sebab, menutup gerai buka perkara menghentikan kegiatan operasional sebuah gerai, melainkan juga kelanjutan nasib dari para pekerjanya.

"Kita hanya bisa menduga toko-toko itu (yang ditutup) pasti tidak bisa menjanjikan, sehingga takut merembet ke internal induk perusahaan. Biasanya begitu. tapi kalau hanya rugi sedikit, diperbaiki, dia akan bertahan. Karena itu tidak merembet ke induk perusahaan. Supaya perusahaan bisa tetap berjalan, untuk sustainability ke depannya, supaya yang baik ini tidak terganggu. Dia menutup toko-toko jeleknya," tandas dia.

 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Menaker Belum Terima Laporan PHK Akibat Penutupan Gerai Giant

(Foto: Liputan6.com/Athika R)
Menaker Hanif Dhakiri (Foto:Liputan6.com/Athika R)

Kabar mengejutkan datang dari supermarket Giant. Jaringan bisnis PT Hero Supermarket Tbk (HERO) ini dikabarkan bakal menutup beberapa gerainya. Dari kabar yang beredar, terdapat enam supermarket Giant yang akan ditutup pada 28 Juli 2019. 

Salah satu hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib para karyawan yang selama ini bekerja di ke-6 supermarket tersebut?

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri masih enggan memberikan banyak komentar terkait hal tersebut. Dia mengaku masih harus mendalami kabar tersebut.

"Aku belum cek. Aku cek dulu," kata dia saat ditemui, di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (24/6).

Dia mengatakan bahwa lazimnya pihak Kementerian Ketenagakerjaan selalu mendapatkan laporan bila ada kejadian pemutusan hubungan kerja alias PHK atau jika ada perusahaan yang tidak menjalankan tanggung jawab kepada karyawan yang di-PHK.

"Kasus ya ada saja. Tapi kita selalu report, kok. PHK kita setiap tahun seberapa banyak. Yang ditangani berapa banyak. Kan, di awal-awal tahun selalu kita dapat report (laporan)," ujarnya.

Terkait kabar penutupan gerai-gerai Giant ini, Hanif mengatakan belum ada laporan yang masuk ke kementeriannya. "Yang ini (Giant) belum. Saya harus cek dulu," ucapnya.

Sektor Ritel Masih Tertekan pada 2019, Ini Pemicunya

20160607-BPOM-Sidak-Swalayan-Jakarta-GMS
Petugas BPOM memeriksa beberapa sayuran saat inspeksi mendadak (sidak) di Pasar Modern Gelael, Jakarta, Selasa (7/6). Sidak dilakukan untuk memastikan tidak adanya kandungan seperti zat seperti borak, formalin, rodamin dll. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Industri ritel diprediksi masih tertekan ke depan. Hal itu didorong dari sejumlah faktor, salah satunya konsumsi rumah tangga.

Untuk mengatasi tekanan, sejumlah perusahaan ritel memiliki strategi dengan efisiensi, seperti menutup gerai dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Salah satunya baru-baru ini dilakukan PT Hero Supermarket Tbk dengan menutup 26 gerai dan PHK 532 karyawan pada 2018.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan, hal tersebut masih akan berlanjut pada 2019 lantaran banyak faktor yang melatarbelakanginya.   

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adinegara menilai, gejolak sektor bisnis ritel pada 2018 disebabkan karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga terbilang stagnan.

"Retail masih tumbuh rendah tahun 2018 kemarin, karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga enggak naik signifikan, rata-rata stagnan di 5 persen," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (15/1/2019).

Merujuk catatan pada kasus Hero Supermarket, ia melihat ada penurunan penjualan di bidang makanan hingga 6 persen. Ia menuturkan, itu merupakan indikator adanya perlambatan konsumsi rumah tangga.

Akibatnya, dia menghitung hingga sejauh ini ada sekitar lima ritel yang menutup usahanya. Antara lain 7 Eleven (Sevel), gerai Matahari di Pasaraya Blok Mahakam dan Manggarai, Lotus, Debenhams, dan GAP.

"Sementara yang mengurangi gerai ada Hero Group dan MAP," ia menambahkan.

Bhima pun memperkirakan, gelombang penutupan ritel ini tetap akan berlanjut pada 2019 selama konsumsi rumah tangga dan daya beli melemah. "Kondisi makro memang mulai pulih, tapi sangat lambat," tegas dia. 

Faktor lainnya, ia menyebutkan, harga komoditas perkebunan yang rontok juga bakal mempengaruhi daya beli masyarakat, baik di Jawa maupun luar Jawa. 

Selain itu, dia memandang masyarakat masih banyak yang menahan diri untuk belanja meskipun inflasi hanya menyentuh 3,1 persen. "Ada pemilu juga yang bikin masyarakat khawatir gaduh. Ini terutama kondisi kelas menengah perkotaan," ia menambahkan.

Dia juga turut menyoroti faktor bunga kredit yang semakin mahal. Hal itu membuat masyarakat berpikir berulang kali untuk berbelanja dengan kartu kredit.

"Belum cicilan rumah dan kendaraan bermotor jadi naik. Alokasi untuk beli kebutuhan pokok di supermarket berkurang," ujar dia.

Pengusaha Ritel Harus Inovatif

Supermarket
Ilustrasi supermarket (Foto: iStockphoto)

Sebelumnya, industri ritel di Indonesia kini tengah disoroti. Mulai dari Hero Supermarket yang resmi menutup 26 toko ritelnya, Neo Central Soho juga dikabarkan dalam waktu dekat akan meniru langkah yang sama untuk menutup gerai.

Vice President Corporate Communications Transmart Carrefour, Satria Hamid mengatakan, pasar industri ritel memang dihadapkan pada situasi sulit. Meski begitu, industri ritel offline bukan berarti padam.

"Tak bisa dipungkiri perubahan penetrasi dari bisnis ritel online sudah marak masuk ke Indonesia. Fenomena ini sudah terasa sejak 10 tahun silam makanya kita antisipasi dan me-remodeling bisnis kami yang dulu carefour menjadi transmart," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 15 Januari 2019.

Satria menuturkan, pentingnya untuk terus mengamati perubahan pasar dan kebutuhan konsumen yang terus berkembang. Kata dia, hal ini merupakan kunci bagi bisnis ritel untuk bisa bertahan.

"Kita industri retail harus lihat kebutuhan konsumen, kreatif, dan juga inovatif. Jadi industri retail offline belum bisa dikatakan padam sejauh bisa mencoba memenuhi kebutuhan konsumen. Karena online sendiri menurut saya hanya diversifikasi pasar saja," ujar dia.

Oleh karena itu, dia menganjurkan agar ritel-ritel di Indonesia dapat terus beradaptasi dengan perkembangan yang terus berubah. Termasuk dalam memposisikan toko ritel masing-masing di masyarakat.

"Untuk industri ritel jangan pernah putus asa. Yang offline harus bisa beradaptasi dan menekankan jati diri toko ritel kita itu dimana posisinya. Memang harus mewarkan ide-ide yang out of the box" imbuh dia.

Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi dan Media Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Fernando Repi menuturkan, sudah saatnya bagi industri ritel masuk ke dalam bisnis digital (e-commerce).

Menurut dia, perubahan penetrasi bisnis dari offline ke online penting guna memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin ingin efisien dari waktu ke waktu.

"Ya jadi memang sudah saatnya, atau lebih tepat peritel memiliki online store," kata dia.

Sejak 2017, industri ritel alami tekanan hingga akhirnya menutup gerai. Sejumlah ritel yang tutup gerai antara lain 7 Eleven (Sevel) yang tutup pada 30 Juni 2017, selain itu Matahari menutup gerainya di Pasaraya Blok M dan Manggarai, serta mal Taman Anggrek.

Kemudian PT Mitra Adiperkasa Tbk menutup gerai Lotus yang berada di lima lokasi pada Oktober. Lotus dioperasikan oleh PT Java Retailindo yang sahamnya 100 persen dimiliki PT Mitra Adiperkasa Tbk.

Tak hanya Lotus, Perseroan juga menutup Debenhams yang berada di Senayan Citu, Kemang Village dan Supermall Karawaci.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya