Trump Tegaskan Tak Bakal Kenakan Tarif Baru Barang China

Amerika Serikat (AS) tidak akan memungut tarif baru untuk barang-barang China setelah negosiasi perdagangan.

oleh Agustina Melani diperbarui 29 Jun 2019, 14:48 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2019, 14:48 WIB
Presiden Amerka Serikat (AS) Donald Trump siap meluncurkan sanksi paling berat terhadap Iran, Senn, 5 November 2018  (AFP).
Presiden Amerka Serikat (AS) Donald Trump siap meluncurkan sanksi paling berat terhadap Iran, Senn, 5 November 2018 (AFP).

Liputan6.com, Osaka - Amerika Serikat (AS) tidak akan memungut tarif baru untuk barang-barang China setelah negosiasi perdagangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping.

AS dan China telah sepakat untuk kembali memulai perundingan perang dagang dan akan membahas masalah-masalah spesifik.

"Setidaknya untuk saat ini, Washington tidak akan mengenakan tarif baru atau menghapus tarif yang sudah ada. Kami akan terus bernegosiasi," ujar Presiden AS Donald Trump, seperti dikutip dari laman Straits Times, Sabtu (29/6/2019).

"Kami akan memberi mereka daftar barang yang ingin kami beli," ia menambahkan.

Trump menuturkan, pihaknya memiliki pertemuan yang sangat baik dengan Presiden China Xi Jinping.

"Luar biasa. Aku akan mengatakan sangat baik. Sebagus apa yang akan terjadi. Kami membahas banyak hal dan kami segera kembali ke jalur semula," kata Donald Trump.

Kembalinya ke meja perundingan mengakhiri kebuntuan selama enam minggu ini yang telah membuat perusahaan dan investor gelisah. Setidaknya sementara waktu mengurangi kekhawatiran dua ekonomi terbesar di dunia menuju perang dingin baru.

Akan tetapi, belum jelas apakah kedua negara itu dapat mengatasi perbedaan yang menyebabkan runtuhnya gencatan senjata sebelumnya yang dicapai pada pertemuan G20 tahun lalu.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Presiden Jokowi Harap Pertemuan Trump dan Xi Jinping Hasilkan Terobosan Signifikan

KTT G20-Donald Trump-Jokowi
Presiden AS Donald Trump dan Presiden RI, Joko Widodo berbincang saat bertemu di sela-sela KTT G20 di Hamburg, Jerman, (8/7). Sejumlah pemimpin negara berkumpul dalam KTT G20 pada 7-8 Juli 2017. . (AP Photo/Evan Vucci)

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela kegiatan KTT G20 pada Jumat 28 Juni 2019.

Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi yang hadir dalam pertemuan itu menuturkan, pada awal pertemuan, Presiden China Xi Jinping juga menyampaikan ucapan selamat kepada Presiden Jokowi dengan selesainya semua proses pemilu.

"Presiden Xi juga menyampaikan hal yang sama dan di awal pertemuan Presiden juga menyampaikan outlook ASEAN mengenai Indo Pasifik dan juga mendapatkan dukungan dari RRT," ia menambahkan, seperti dikutip dari Setkab, Osaka, Jepang, seperti ditulis Sabtu (29/6/2019).

Dalam diskusi antara Presiden Xi Jinping dan Jokowi, menurut Retno, juga dibahas mengenai rencana akan ada pertemuan antara Presiden Trump dan Presiden Xi. Presiden Jokowi pun mengharapkan mudah-mudahan akan ada terobosan yang signifikan.

Selain itu, pembicaraan turut membahas upaya untuk mengurangi defisit perdagangan antara Indonesia dengan China, dan begitu pun juga untuk tahun lalu impor China terhadap CPO Indonesia sudah melampaui angka 1 juta ton yang berarti sudah lebih dari angka yang dijanjikan oleh Presiden Xi sebelumnya.

Kemudian yang selanjutnya Presiden Xi menyampaikan tahun lalu Indonesia mengikuti Expo Export Import yang ada di Shanghai, dan mengharapkan agar pada tahun ini Indonesia juga mengikuti.

"Rencananya kita juga akan mengikuti dan dari pihak Tiongkok akan memberikan perhatian yang khusus kepada Indonesia," ujar  Retno.

Mendampingi Presiden Jokowi dalam kesempatan itu antara lain Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan, Mensesneg Pratikno, Mendag Enggartiasto Lukita, Menlu Retno Marsudi, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, dan Menperin Airlangga Hartarto.

 

Sri Mulyani: Semua Negara Sepakat Perang Dagang Harus Berakhir

(Foto: Merdeka.com/Wilfridus S)
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menuturkan, semua pihak sepakat untuk mengakhiri perang dagang, tetapi hingga saat ini belum ada kesepakatan bagaimana caranya.

"Semua sepakat perlu upaya mengurangi ketegangan perdagangan internasional, namun belum ada kesepakatan bagaimana caranya," ujar Sri Mulyani ketika bersama Menlu Retno Marsudi, seperti dikutip dari laman Antara, Sabtu, 29 Juni 2019.

Ia menuturkan, belum ada kesepakatan mengenai cara mengatasinya menimbulkan ketidakpastian dalam hasil KTT G20 Osaka tersebut.

Sri Mulyani menuturkan, perlunya upaya mengurangi ketegangan perdagangan internasional dibahas dalam sesi pertama KTT G20.

"Menyangkut ekonomi global, perdagangan, dan investasi, memang merupakan isu yang sekarang menjadi paling mengemuka dalam pertemuan G20," tutur dia.

Ia menuturkan, sudah disampaikan, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 ini menjadi lebih rendah karena risiko-risiko yang sifatnya negatif telah terjadi yaitu eskalasi dari ketegangan perdagangan terutama antara Amerika Serikat (AS) dan China.

"Namun, sebetulnya secara menyeluruh penyebabnya adalah munculnya sikap proteksionisme," tutur dia,

Menurut Sri Mulyani, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde menyampaikan risiko ketegangan perang dagang itu, pertumbuhan ekonomi dunia akan turun 0,5 persen.

Dengan demikian pada 2019 ini yang diprediksi 3,5 persen dan diharapkan bisa naik menjadi 3,6 persen. Akan tetapi, kalau perang dagang terus berjalan, pertumbuhan hanya akan mencapai 3,1 persen.

"0,5 persen dari GDP dunia itu lebih besar dari satu ekonomi seperti Afrika Selatan. Jadi ini risikonya sangat besar," kata dia.

Ia menuturkan, dari pernyataan para pimpinan seperti Presiden AS Donald Trump, Presiden Xi Jinping dan beberapa pimpinan mengenai situasi saat ini, masih ada jarak terutama antara Trump dengan pimpinan lain.

Dalam opening statementnya di KTT G20, Trump menuturkan, pihaknya menginginkan ada perdagangan yang adil dan resiprokal yang saling berlaku adil.

Trump juga menyampaikan pentingnya memunculkan level playing field dan tidak ada kebijakan yang tidak fair. Dalam hal ini muncul istilah predatory nation yang bisa memanfaatkan ekonomi AS.

"Ini menggambarkan bahwa dalam konsep Trump masih ada negara-negara yang dianggap melakukan praktik-praktik yang merugikan AS. Oleh karena itu, Trump mengajak kita menghapuskan berbagai macam distorsi itu untuk bisa menciptakan kesejahteraan bersama," ujar Sri Mulyani.

Di sisi lain, Presiden China Xi Jinping menuturkan, situasi saat ini adalah karena kebijakan yang dibuat oleh suatu negara, sehingga keinginan menciptakan kondisi win-win solution adalah fungsi dari keinginan untuk memperbaiki atau menciptakan solute itu sendiri atau tidak.

Sri Mulyani mengatakan, dari semua yang menyampaikan pendapat pada KTT G20, semua ingin reformasi di WTO, mungkin penekannya berbeda. Akan tetapi, paling penting adalah reformasi di WTO, terutama mengenai mekanisme menangangi dispute, menangani masalah multilateral yang sifatnya mendistorsi, dan bagaimana penyelesaian perbedaan praktik perdagangan yang adil.

"Kalau dilihat dari pertemuan ini, hampir semua sepakat kita perlu melakukan reformasi, perlu upaya mengurangi ketegangan perdagangan internasional, namun belum ada kesepakatan bagaimana caranya," ujar dia.

Meski demikian, Sri Mulyani berharap akan ada komunike yang mewadahi perbedaan itu dalam satu kesepakatan pernyataan bersama.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya