Harga Materai Naik, Penerimaan Negara Meningkat Rp 3,8 Triliun

Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan rencana kenaikan harga materai bisa meningkatkan pendapatan negara

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Jul 2019, 20:30 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2019, 20:30 WIB
Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat memberi keterangan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan kepada DPR perubahan bea materai menjadi satu harga yaitu Rp 10.000 per lembar. Saat ini bea materai terbagi dua harga yaitu Rp 3.000 dan Rp 6.000 per lembar. Namun usulan tersebut baru dapat direalisasikan jika sudah memperoleh persetujan anggota dewan.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengungkapkan salah satu faktor kenaikan bea materai adalah untuk kenaikan penerimaan negara.

"Sebagai negara NKRI ini memiliki tujuan kesejahteraan umum demi keadilan sosial rakyat Indonesia jadi diberikan sumber penerimaan pajak negara khususnya bea materai," kata dia, di Gedung DPR-RI, Jakarta, Rabu (3/7/2019).

Menkeu menegaskan, potensi pendapatan negara dari kenaikan bea materai ini mencapai Rp 3,8 triliun. Itupun hanya dari materai tempel saja.

“Ini hanya dari materai tempel ada tambahan Rp 3,8 triliun,” ujarnya.

Seperti diketahui, saat ini materai juga sudah ada dalam bentuk digital. Dan penggunaannya pun cukup banyak. Namun, dia menyebutkan potensi tambahan pendapatan dari bea materai digital masih belum dikaji.

“Kita akan melakukan estimasi berdasarkan dokumen digital sesuai peraturan perundang undang,” tutupnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Undang-undang Sudah Tak Relevan

(Foto: Merdeka.com/Wilfridus S)
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)

Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan dalam UU ditetapkan sejak tahun 1985 tarif bea meterai sebesar Rp 500 dan Rp 1.000 dengan maksimal peningkatan tarifnya sebatas 6 kali lipat dari tarif awal. Namun menurutnya, hal tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini dengan 34 tahun lalu saat UU tersebut lahir.

Kemudian, dalam perjalananya, di tahun 2000 tarif bea meterai dimaksimalkan menjadi Rp 3.000 dan Rp 6.000. Tarif tersebut tidak pernah naik lagi sebab terbentur aturan UU yang sudah melebihi batas maksimal 6 kali lipat.

Saat ini, lanjutnya, kondisi perekonomian sudah membaik ditandai dengan pendapatan per kapita Indonesia yang terus meningkat sehingga nilai bea materai maksimal sebesar Rp 6.000 yang sudah berlaku belasan tahun sudah tidak relevan dan harus disesuaikan.

"Dalam kurun waktu 17 tahun, pdb per kapita Indonesia telah meningkat hampir 8 kali lipat. Menggunakan data BPS, pdb per kapita tahun 2000 (pertama kali bea materai Rp 6.000) adalah Rp 6,7 juta sementara pdb perkapita tahun 2017 adalah Rp 51,9 juta," ujarnya.

"Maka dari itu, kami usulkan bahwa tarif meterai lebih sederhana menjadi satu tarif yakni Rp 10.000," dia menambahkan.

 

Pengelompokan Jenis Dokumen

Rapat Kerja
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2019). Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI kembali melakukan pembahasan mengenai asumsi dasar makro dalam RAPBN 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Selanjutnya, pemerintah mengusulkan adanya pengelompokan jenis-jenis dokumen yang harus menggunakan materai.

Seperti diketahui, saat ini materai Rp 3.000 dikenakan untuk dokumen yang mencantumkan penerimaan uang di atas Rp 250.000 hingga Rp 1.000.000 dan materai Rp 6.000 digunakan untuk dokumen dengan penerimaan uang di atas Rp 1.000.000.

Dalam aturan yang baru, penggunaan materai hanya diwajibkan pada transaksi dengan nominal lebih dari Rp 5.000.000.

"Ini karena kami memang mendesain RUU ini demi keberpihakan usaha mikro, kecil, dan menengah. Apalagi, transaksi di bawah Rp 5.000.000 ini akan dibebaskan dari bea meterai," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya